Jumat, 02 Juni 2017

Contoh Paper dari Pak Eko Bachtiar Makul Bank & LKS dalam file Word

EKSISTENSI MANAJEMEN

PERMODALAN DALAM MENJAGA


TINGKAT KESEHATAN BAGI


BANK SYARI’AH


0


L


E


H


Eko Bahtiar



PENDAHULUAN
Bank pada umumnya dan bank syari’ah pada khususnya adalah lembaga yang didirikan dengan orientasi laba (profit oriented). Untuk mendirikan lembaga demikian ini perlu didukung dengan aspek permodalan yang kuat. Kekuatan aspek permodalan ini dimungkinkan terbangunnya kondisi bank yang dipercaya oleh masyarakat. Sebagaimana diketahui bersama, bank adalah lembaga kepercayaan.
Sehubungan dengan persoalan kepercayaan masyarakat terhadap bank tersebut, maka manajemen bank harus menggunakan semua perangkat operasionalnya untuk mampu menjaga kepercayaan masyarakat itu. Salah satu perangkat yang sangat strategis dalam menopang kepercayaan itu adalah permodalan yang cukup memadai.
Menurut Zainul Arifin secara tradisional, modal didefinisikan sebagai sesuatu yang mewakili kepentingan pemilik dalam suatu perusahaan. Berdasarkan nilai buku, modal didefinisikan sebagai kekayaan bersih (net worth) yaitu selisih antara nilai buku dari aktiva dikurangi dengan nilai buku dari kewajiban (liabilities). Pada suatu bank, sumber perolehan modal bank dapat diperoleh dari beberapa sumber. Pada awal pendirian, modal bank diperoleh dari para pendiri dan para pemegang saham. Pemegang saham menempatkan modalnya pada bank dengan harapan memperoleh hasil keuntungan di masa yang akan datang. Sebagai lembaga kepercayaan, bank tidak hanya dibutuhkan atau bermanfaat bagi individu dan masyarakat secara keseluruhan, tetapi juga sangat berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan ekonomi suatu negara. Dalam proses intermediasi, dana yang dikerahkan atau dimobilisasi oleh suatu bank selanjutnya akan disalurkan dan diinvestasikan ke sektor-sektor ekonomi yang produktif. Kegiatan bank ini tentu saja akan meningkatkan investasi, produksi, serta konsumsi barang dan jasa yang berarti akan meningkatkan kegiatan ekonomi suatu negara. Sementara itu, perbankan juga sangat berperan dalam pelaksanaan kebijakan moneter. Efektivitas kebijakan moneter akan sangat dipengaruhi oleh kesehatan dan stabilitas sektor perbankan.
Kesehatan suatu bank tercermin dalam laporan keuangan yang dikeluarkan bank tersebut dimana laporan keuangan tersebut telah diaudit oleh kantor akuntan publik. Penilaian kesehatan perbankan dilakukan setiap periode. Dalam setiap penilaian ditentukan kondisi suatu bank. Bagi bank yang sudah dinilai sebelumnya dapat pula dinilai apakah ada peningkatan atau penurunan kesehatannya. Bagi bank yang menurut penilaian sehat atau kesehatannya terus meningkat tidak jadi masalah, karena itulah yang diharapkan dan supaya tetap dipertahankan terus, akan tetapi bagi
bank yang terus-menerus tidak sehat, maka harus mendapatkan pengarahan atau bahkan sangsi sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Bank Indonesia, sebagai bentuk perhatian terhadap kesehatan bank telah mengeluarkan kebijakan penilaian tingkat kesehatan bank dengan metode CAMELS berdasarkan PBI No. 6/10/2004 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum dengan metode CAMELS yang merupakan penilaian kesehatan bank terhadap enam faktor yakni Capital, Asset, Management, Earning, Liqudity dan Sensitivity to Market Risk.

Kebijakan penilaian tingkat kesehatan bank kembali diperbarui oleh Bank Indonesia pada tanggal 25 Oktober 2011 dengan mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia No.13/PBI/2011. Peraturan baru ini merupakan penyempurnaan dari metode CAMELS yang sebelumnya digunakan. Metode baru yang ditetapkan oleh Bank Indonesia merupakan metode dengan pendekatan risiko yakni Risk-based Bank
Rating. Metode Risk-based Bank Rating atau RBBR merupakan metode yang terdiri dari empat faktor penilaian yakni Risk Profile, Good Corporate Governance (GCG), Earning dan Capital.


PEMBAHASAN
Bank sebagai unit bisnis membutuhkan darah bisnis, yaitu berbentuk modal. Dengan kata lain, modal bank adalah aspek penting bagi suatu unit bisnis bank. Sebab beroperasi tidaknya atau dipercaya tidaknya suatu bank, salah satunya dipengaruhi oleh kondisi kecukupan modal. Menurut Jhonson and Jhonson, modal bank mempunyai tiga fungsi, antara lain:

Pertama, sebagai penyangga untuk menyerap kerugian operasional dan kerugian lainnya. Dalam fungsi ini modal memberikan perlindungan terhadap kegagalan atau kerugian bank dan perlindungan terhadap kepentingan para deposan.

Kedua, sebagai dasar untuk menetapkan dasar maksimum pemberian kredit. Hal ini adalah merupakan pertimbangan opersional bagi bank sentral, sebagai regulator, untuk membatasi jumlah pemberian kredit kepada setiap individu nasabah bank. Melalui pembatasan ini bank sentral memaksa bank untuk melakukan diversifikasi kredit mereka agar dapat melindungi diri terhadap kegagalan kredit dari satu individu debitur.

Ketiga, modal juga menjadi dasar perhitungan bagi para partisipan pasar untuk mengevaluasi tingkat kemampuan bank secara relative untuk menghasilkan keuntungan. Tingkat keuntungan bagi para investor diperkirakan dengan membandingkan keuntungan bersih dengan ekuitas. Para partisipan pasar membandingkan return on investement diantara bank-bank yang ada.
Sementara itu, Breton C. Leavitt, staff Dewan Gubernur Bank Sentral Amerika, dalam kaitannya dengan fungsi dari modal bank, menekankan ada empat hal yaitu:

1. Untuk melindungi deposan yang tidak diasuransikan, pada saat bank dalam keadaan insolvable dan likuidasi.

2. Untuk menyerap kerugian yang tidak diharapkan guna menjaga keprcayaan masyarakat bahwa bank dapat terus beroperasi.

3. Untuk memperoleh saran fisik dan kebutuhan dasar lainnya yang diperlukan untuk menawarkan pelayanan bank.

4. Sebagai alat pelaksanaan peraturan pengendalian ekspansi aktiva yang tidak tepat.

Melihat fungsi modal pada suatu bank yang disampaikan di atas menunjukkan, bahwa kedudukan modal merupakan hal penting yang harus dipenuhi terutama oleh pendiri bank dan para manajemen bank selama beroperasinya bank tersebut.

B. ASPEK PERMODALAN BANK SYARI’AH
Untuk dapat mendirikan suatu BUS (Bank Umum Syari’ah) jumlah modal disetor sekurang-kurangnya sebesar Rp 3.000.000.000.000 (tiga triliun rupiah) demikian ditentukan oleh Pasal 4 ayat (1) SK DIR Bank Indonesia 32/34/1999. Modal disetor bagi bank yang berbentuk hukum koperasi adalah simpanan pokok, simpanan wajib, dan hibah sebagaiman diatur dalam Undang-undang tentang
Perkoperasian (Pasal 4 ayat (2)). Modal disetor berasal dari warga Negara asing dan atapuluh Sembilan perseratus) dari modal disetor bank yang bersangkutan (Pasal 4 ayat (3)

Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bagaimana sikap Bank Indonesia, yaitu bahwa apabila ada pihak asing yang menginginkan untuk mendirikan suatu BUS, maka pihak asing harus bermitra dengan mitra Indonesia. Namun, ketentuan ketentuan yang membolehkan mitra asing menguasai saham sampai 99%, dengan kata lain mitra Indonesia hanya menguasai saham sebesar 1% saja, tidak akan dapat memberikan kedudukan yang cukup berarti bagi mitra Indonesia tersebut dalam kemitraan di BUS itu. Kalau dilihat pula dari ketentuan Undang-undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, jumlah 1% itu belum sampai mencapai batas minimum dari pemegang saham yang disebut pemegang saham minoritas yang dilindungi haknya oleh Undang-undang. Menurut Undang-undang No.1 Tahun 1995 untuk dapat memperoleh hak-haknya sebagai pemegang saham minoritas, pemegang saham tersebut harus memiliki sekurang-kurangnya 10% bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah. Apabila mitra Indonesia ingin mempunyai hak-hak tertentu dalam BUS tersebut, seyogianya agar dalam anggaran dasar BUS yang berbentuk Perseroan Terbatas, diatur dan ditegaskan dengan sebaik mungkin mengenai hak-haknya, terutama yang menyangkut kedudukannya di Direksi dan atau Dewan Komisaris bank tersebut. Menurut ketentuan Pasal 14 SK DIR BI 32/34/1999, sumber dan yang digunakan dalam rangka kepemilikan bank dilarang berasal dari:
a. Pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apa pun dari BUS dan atau pihak lain di Indonesia.

b. Sumber yang diharamkan, menurut Prinsip Syari’ah, termasuk dari dan untuk tujuan pencucian uang (money laundering). untuk badan hukum asing harus berjumlah setinggi-tingginya 99% (Sembilan) Sumber utama modal bank syariah adalah modal inti (core capital) dan kuasi ekuitas. Modal inti adalah modal yang berasal dari para pemilik bank, yang terdiri dari modal yang disetor oleh para pemegang saham, cadangan dan laba ditahan. Sedangkan kuasi ekuitas adalah dana-dana yang tercatat dalam rekening-rekening bagi hasil (mudharabah). Modal inti inilah yang berfungsi sebagai penyangga dan penyerap kegagalan atau kerugian bank dan melindungi kepentingan para pemegang rekening titipan (wadi’ah) atau pinjaman (qard), terutama atas aktiva yang didanai oleh modal sendiri dan dana-dana wadi’ah atau qardSebenarnya dana-dana rekening bagi hasil (mudharabah) dapat juga dikategorikan sebagai modal, yang oleh karenanya disebut kuasi ekuitas. Namun demikian rekening ini hanya dapat menanggung resiko atas aktiva yang dibiayai oleh dana dari rekening bagi hasil itu sendiri. Selain itu, pemilik rekening bagi hasil dapat menolak untuk menanggung resiko atas aktiva yang dibiayainya, apabila terbukti bahwa resiko tersebut timbul akibat salah urus (mis management), kalalaian atau kecurangan yang dilakukan oleh manajemen bank selaku mudharib. Modal merupakan bagian dari dana yang dapat digunakan bank dalam aktivitas kesehariannya. Hal penting berkaitan dengan masalah dana adalah bagaimana melakukan aktivitas manajemen dana. Manajemen dana adalah proses pengelolaan, penghimpunan dan pengalokasian dana masyarakat serta dana modal untuk mendapatkan tujuan Bank Syari’ah secara efektif dan efisien.

Modal inti (tier 1) terdiri dari:

1. Modal setor, yaitu modal yang disetor secara efektif oleh pemilik. Bagi bank milik koperasi modal setor tediri dari simpanan pokok dan simpanan wajib para anggotanya.

2.
Agio saham, yaitu selisih lebih dari harga saham dengan nilai nominal saham.
3. Modal sumbangan, yaitu modal yang diperoleh kembali dari sumbangan saham, termasuk selisih nilai yang tercatat dengan harga (apabila saham tersebut terjual).

4.
Cadangan umum, yaitu cadangan yang dibentuk dari penyisihan laba yang ditahan dengan persetujuan RUPS.

5.
Cadangan tujuan, yaitu bagian laba setelah pajak yang disishkan untuk tujuan tertentu atas persetujuan RUPS.

6.
Laba ditahan, yaitu saldo laba bersih setelah pajak yang oleh RUPS diputuskan untuk tidak dibagikan.

7.
Laba tahun lalu, yaitu laba bersih tahun lalu setelah pajak, yang belum ditetapkan penggunaannya oleh RUPS. Jumlah laba tahun lalu hanya 50% ditetapkan sebagai modal inti. Bila tahun lalu rugi harus dikurangkan terhadap modal inti.

8.
Laba tahun berjalan, yaitu laba sebelum pajak yang diperoleh dalam tahun berjalan.
- Laba ini diperhitungkan hanya 50% sebagai modal inti.

- Bila tahun berjalan rugi, harus dikurangkan terhadap modal inti.

9.
Bagian laporan bersih anak perusahaan yang laporan keuangannya dikonsolidasikan, yaitu modal inti anak perusahaan setelah dikompensasikan dengan pernyataan bank pada anak perusahaan tersebut.

Bila dalam pembukuan bank terdapat goowill, maka jumlah modal inti harus dikurangkan dengan nilai goodwill tersebut. Bank syari’ah dapat mengikuti sepenuhnya pengkategorian unsur-unsur tersebut di atas sebagai modal inti, karena tidak ada hal-hal yang bertentangan dengan prinsip syari’ah.

Modal pelengkap (tier-2) terdiri atas cadangan-cadangan yang dibentuk bukan dari laba setelah pajak serta pinjaman yang sifat.nya dipersamakan dengan modal.
Secara terinci modal pelengkap dapat berupa:
1. Selisih penilaian kembali asset tetap.

2. Cadangan penghapusan aktiva yang diklasifikasikan.

3. Modal pinjaman yang mempunyai ciri-ciri:

a. Tidak dijamin oleh bank yang bersangkutan dan dipersamakan dengan modal dan telah dibayar penuh.

b. Tidak dapat dilunasi atas inisiatif pemilik, tanpa persetujuan BI.

c. Mempunyai kedudukan yang sama dengan modal dalam hal memikul kerugian bank.

d. Pembayaran bunga dapat ditangguhkan bila bank dalam keadaaan rugi.

4. Pinjaman subordinasi yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Ada perjanjian tertulis antara pemberi pinjaman dengan bank.

b. Mendapat persetujuan dengan BI.

c. Tidak dijamin oleh bank yang bersangkutan.

d. Minimal berjangka 5 tahun.

e. Pelunasan pinjaman harus dengan persetujuan BI.

f. Hak tagih daam hal terjadi likuidasi berlaku paling akhir (kedudukannya sama dengan modal).

Modal pelengkap ini hanya dapat diperhitungkan sebagi modal setinggitingginya 100% dari jumlah modal inti. Khususnya menyangkut modal pinjamandan pinjaman subordinasi, bank syari’ah tidak dapat mengkategorikannya sebagai modal, karena pinjaman harus tunduk pada prinsip qard dan qard tidak boleh diberikan syarat-syarat seperti ciri-ciri atau syarat-syarat yang diharuskan dalam ketentuan tersebut.

Modal pelengkap tambahan (tier-3) adalah investasi subordinasi jangka pendek yang memenuhi kriteria Bank Indonesia sebagai berikut:

a. Berdasarkan prinsip mudharabah atau musyarakah.

b. Tidak dijamin oleh Bank yang bersangkutan dan telah disetor penuh.

c. Memiliki jangka waktu perjanjian sekurang-kurangnya dua tahun.

d. Tidak dapat dibayar sebelum jadwal waktu yang ditetapkan dalam perjanjian dengan persetujuan Bank Indonesia.

e. Terdapat klausul yang mengikat yang menyatakan bahwa tidak dapat dilakukan penarikan angsuran pokok, termasuk pembayaran pada saat jatuh tempo, apabila pembayaran dimaksud menyebabkan kewajiban penyediaan modal minimum bank tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.

f. Terdapat perjanjian penempatan investasi subordinasi yang jelas termasuk jadwal pelunasannya.

g. Memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia. Modal pelengkap tambahan, dalam perhitungan kewajiban penyediaan modal minimum, hanya dapat digunakan untuk memperhitungkan risiko pasar dengan memenuhi dua kriteria, yaitu:

1. Tidak melebihi 25% dari bagian modal inti yang dialokasikan untuk memperhitungkan risiko pasar.

2. Jumlah modal pelengkap dan modal pelengkap tambahan sebesar-besarnya 100% dari modal inti.

Modal pelengkap yang tidak digunakan atau investasi subordinasi yang melebihi 50% dari modal inti dapat ditambahkan untuk atau digunakan sebagai komponen modal pelengkap tambahan dengan tetap memenuhi syarat seperti dua kriteria tersebut.

C. PENETAPAN MODAL MINIMUN

Bank yang memiliki tingkat kecukupan modal baik menunjukkan indikator sebagai bank yang sehat. Sebab kecukupan modal bank menunjukkan keadaannya yang dinyatakan dengan suatu rasio tertentu yang disebut rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR). Tingkat kecukupan modal ini dapat diukur dengan cara:
1. Membandingkan modal dengan dana-dana pihak ketiga.

Dilihat dari sudut pandang kepentingan deposan, perbandingan antara modal dengan pos-pos pasiva merupakan petunjuk tentang tingkat keamanan simpanan masyarakat pada bank. Perhitungannya merupakan rasio modal dikaitkan dengan simpanan pihak ketiga (giro, deposito dan tabungan) sebagai berikut:
Dari perhitungan tersebut diketahui bahwa rasio modal atas simpanan cukup dengan 10% dan dengan rasio itu permodalan bank dianggap sehat. Rasio antara modal dan simpanan masyarakat harus dipadukan dengan memperhitungkan aktiva yang mengandung risiko. Oleh karena itu modal harus dilengkapi oleh berbagai cadangan sebagai penyangga modal, sehingga secara umum modal bank terdiri dari modal inti dan modal pelengkap.

2. Membandingkan modal dengan aktiva berisiko.

Ukuran kedua inilah yang menjadi kesepakatan BIS (Bank for International Settlement) yaitu organisasi bank sentral dari Negara-negara maju yang disponsori oleh Amerika Serikat, Kanada, Negara-negara Eropa Barat dan Jepang. Kesepakatan tentang ketentuan permodalan itu dicapai pada tahun 1988, dengan menetapkan CAR, yaitu rasio minimum yang mendasarkan kepada perbandingan antara modal dengan aktiva berisiko. Kesepakatan ini dilatarbelakangi oleh hasil pengamatan para ahli perbankan negara-negara maju, termasuk para pakar IMF dan World Bank, tentang adanya ketimpangan struktur dan sistem perbankan internasional. Hal ini didukung oleh beberapa indikasi sebagai berikut:

a. Krisis pinjaman negara-negara Amerika Latin telah mengganggu kelancaran arus peredaran uang internasional.

b. Persaingan yang dianggap unfair antara bank-bank Jepang dengan bankbank Amerika dan Eropa di Pasar Uang Internasional. Bank-bank Jepang memberikan pinjaman aman lunak (bunga rendah) karena ketentuan CAR di negara itu amat lunak, yaitu antara 2 sampai 3 persen saja.

c.Terganggunya situsi pinjaman internasional yang berakibat terganggunya perdagangan internasional.

Berdasarkan indikasi-indikasi itu lalu BIS menetapkan ketentuan perhitungan CAR yang harus diikuti oleh bank-bank di seluruh dunia sebagai aturan main dalam kompetisi yang fair di pasar keuangan global, yaitu rasio minimum 8%permodalan terhadap aktiva berisiko. Idealnya besaran CAR sebesar 12-14%. Besaran CAR ini tergantung pada kebijakan Negara.

D. PENGHITUNGAN CAPITAL ADEQUACY RATIO (CAR)

Perhitungan kebutuhan modal didasarkan pada aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR). Yang dimaksud aktiva dalam perhitungan ini mencakup baik aktiva yang tercantum dalam neraca maupun aktiva yang bersifat administratif sebagaimana tercermin dalam kewajiban yang masih bersifat kontingen dan atau komitmen yang disediakan bagi pihak ketiga. Terhadap masing-masing jenis aktiva tersebut ditetapkan bobot risiko yang besarnya didasarkan pada kadar risiko yang terkandung dalam aktiva itu sendiri atau yang didasarkan atas penggolongan nasabah, penjamin atau sifat barang jaminan.

1. CAR dengan memperhitungkan risiko pembiayaan:

2. CAR dengan memperhitungkan risiko pembiayaan dan risiko pasar:

E. PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN PERBANKAN

Unsur kepercayaan masyarakat terhadap sebuah bank dapat berpengaruh terhadap kemampuan bank dalam menghimpun dana-dana masyarakat atau dari kelembagaan (institusi) tergantung pada kinerja intemal bank sendiri (dan kinerja perbankan pada umumnya) yang diwakili oleh gambaran dari tingkat kesehatan bank. Kinerja itu mencakup unsur-unsur dalam CAMEL (Capital, Asset Quality, Management, Earning Capacity serta Liquidity) Aspek-aspek tersebut dapat dipantau oleh masyarakat melalui laporan keuangan bank yang dipublikasi, kemampuan bank mencetak laba dan menjaga likuiditas serta integritas dan kredibilitas para manajemen (direksi) dan pengawas (komisaris) bank yang bersangkutan.

Gambaran kinerja sebuah bank ditunjukkan oleh data atau laporan keuangan yang meliputi neraca serta income statement dan rekening administratif (off balance sheet) menggambarkan potret dan kinerja bank. Secara implisit, laporan itu menggambarkan pula risiko-risiko apa saja yang mungkin sedang dihadapi oleh bank yang bersangkutan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja bank dan unsur-unsur risiko inilah yang harus diantisipasi oleh manajemen dalam usahanya mencapai sasaran yang ditetapkannya.

1. Capital (Permodalan)

Capital (Permodalan) adalah untuk menjaga kesehatan struktur permodalan bank yang sudah beroperasi. Bank Indonesia mengendalikannya dengan mengeluarkan ketentuan tentang jumlah minimal CAR yaitu delapan persen (8%) dari jumlah aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) yang
dimiliki bank agar diharapkan bahwa modal tersebut mampu melindungi stakeholder lain selain pemilik dalam menghadapi berbagai jenis risiko yang dihadapi oleh bank tersebut. Pada dasarnya besaran CAR (Capital Adequacy Ratio) suatu bank dihitung dengan membagi besaran modal bank tersebut dengan besaran ATMR (Aktiva Tertimbang Menurut Risiko)-nya. Sedangkan dalam pengertian modal, dicakup baik modal inti maupun modal pelengkap.


2. Asset Quality (Kaulitas Aktiva)
Menurut Sutojo “Kualitas harta atau aktiva bank ditentukan oleh kemungkinan menguangkan kembali atau kolektibilitas aktiva tersebut”. Aktiva produktif adalah penanaman dana bank baik dalam rupiah maupun valuta asing dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan dana antar bank
penyertaan, termasuk komitmen dan kontijensi pada transaksi rekening administratif.

3. Management Quality (Kualitas Manajemen Bank)
Kualitas Manajemen Bank mencerminkan tingkat efektifitas yang dapat dicapai oleh usaha operasional bank.15 Untuk menilai kegiatan bank yang yang dikelola sehari-hari dari kualitas manajemen juga bisa dilihat dengan menggunakan dua faktor, yaitu faktor :
a) Manajemen Umum yang terdiri dari manajemen strategi, manajemen structural dan manajemen system dan kepemimpinan.

b) Manajemen Risiko yang terdiri dari manajemen likuiditas, manajemen kredit, manajemen operasional dan manajemen Hukum pemilik dan Pengurus

4. Earnings Capacity (Rentabilitas) Penilaian terhadap faktor rentabilitas didasarkan pada :
a. Rasio laba sebelum pajak dalam 12 bulan terakhir terhadap rata-rata volume usaha dalam periode yang sama.

b. Rasio biaya operasional dalam 12 bulan terakhir terhadap pendapatan operasional dalam periode yang sama.

Bank Indonesia menilai keberhasilan profitabilitas dengan menggunakan dua macam tolak ukur, yaitu Return On Assets (ROA) minimal 1,5% pendapatan operasional dan rasio perbandingan antara biaya operasional dengan pendapatan operasional (BOPO) tidak lebih besar dari 90% pendapatan operasional menurut Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004.

5. Liquidity (Likuiditas Keuangan)
Likuditas adalah penilaian atas kemampuan bank yang bersangkutan untuk membayar semua hutang-hutangnya terutama simpanan tabungan giro, dan deposito pada saat ditagih dan dapat pula memenuhi semua permohonan kredit yang layak dibiayai. Dalam likuiditas perbankan tidak diukur dari acid tes ratio maupun current ratio. Rasio likuiditas yang lazim digunakan dalam dunia perbankan terutama diukur dari loan to deposit ratio (LDR). LDR sangat penting dikarenakan bank menjalankan fungsi intermediasi yaitu menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya dalam bentuk kredit.

Kebijakan penilaian tingkat kesehatan bank kembali diperbarui oleh Bank Indonesia pada tanggal 25 Oktober 2011 dengan mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia No.13/PBI/2011. Peraturan baru ini merupakan penyempurnaan dari metode CAMEL yang sebelumnya digunakan. Metode baru yang ditetapkan oleh Bank Indonesia merupakan metode dengan pendekatan risiko yakni Risk-based Bank Rating. Metode Risk-based Bank Rating atau RBBR merupakan metode yang terdiri dari empat faktor penilaian yakni Risk Profile, Good Corporate Governance (GCG), Earning dan Capital.
Sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia No. 13/24/DPNP 25 Oktober 2011. Menurut SE BI No. 13/24/DPNP 25 Oktober 2011, bank wajib memelihara dan atau meningkatkan Tingkat Kesehatan Bank dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam melaksanakan kegiatan usaha. Penilaian Tingkat Kesehatan Bank berbasis risiko (Risk-Based Bank Ratingadalah penilaian yang komprehensif dan terstruktur terhadap hasil integrasi profil risiko dan kinerja yang meliputi penerapan tata kelola yang baik, rentabilitas, dan permodalan. Pendekatan tersebut memungkinkan Bank Indonesia sebagai lembaga pengawas perbankan di Indonesia melakukan tindakan pengawasan yang sesuai dan tepat waktu karena penilaian dilakukan secara komprehensif terhadap semua faktor penilaian dan difokuskan pada risiko yang signifikan serta dapat segera dikomunikasikan kepada bank dalam rangka menetapkan tindak lanjut pengawasan.

1. Profil Risiko (Risk Profile)

Risk Profile (profil risiko) menjadi dasar penilaian tingkat bank pada saat ini dikarenakan setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh bank sangat memungkinkan akan timbulnya risiko. Bank Indonesia menjelaskan risikorisko yang diperhitungkan dalam menilai tingkat kesehatan bank dengan metode Risk-Based Bank Rating dalam Surat Edaran Bank Indonesia No 13/24/DNPN pada tanggal 25 Oktober 2013 terdiri dari 8 jenis risiko yaitu, risiko pasar, risiko kredit, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko hukum, risiko stratejik, risiko kepatuhan dan risiko reputasi”.

2. Good Corporate Governance (GCG).
Penilaian terhadap faktor GCG mencakup kedalam tiga aspek utama yakni, governance structure, governance process, dan governance outcomes. Governance Structure yang mencakup pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Komisaris dan Direksi serta kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite. Governance Process mencakup penerapan fungsi kepatuhan bank dan Governance Outcomes mencakup transparansi kondisi keuangan dan non keuangan, laporan pelaksanaan GCG dan pelaporan internal. Fungsinya sebagai tolok ukur kinerja dan tata kelola manajemen bank dari tahun ke tahun.

3. Rentabilitas (earning) merupakan salah satu faktor yang digunakan dalam pengukuran tingkat kesehatan bank. Penilaian terhadap faktor ini mencakup atas kinerja rentabilitas, sumber-sumber rentabilitas, kesinambungan (suistainability) rentabilitas, dan manajemen rentabilitas. SE BI No 13/24/DPNP menerangkan kinerja rentabilitas dapat dinilai dengan menggunakan rasio keuangan yakni Return on Asset (ROA) dan Net Interest Margin (NIM). ROA yaitu mengukur manajemen bank dalam memperoleh laba keseluruhan. Berfungsi untuk mengetahui seberapa besar kemampuan manajemen bank dalam menghasilkan laba dari aset yang dimiliki. Semakin besar ROA suatu bank, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank tersebut dan semakin baik pula posisi bank tersebut dari segi penggunaan asset. NIM yaitu mengukur pengelolaan aktiva produktif
sehingga bisa menghasilkan pendapatan bunga bersih. Pendapatan bunga bersih diperoleh dari pendapatan bunga dikurangi beban bunga. Semakin besar rasio NIM, maka semakin meningkat pendpatan bunga atas aktiva produktif yang dikelola bank. Sehingga, kemungkinan bank dalam kondisi bermasalah semakin kecil.


4. Faktor permodalan (Capital) dapat dinilai dengan menggunakan rasio keuangan yakni Capital Adequecy Ratio (CAR). Penilaian terhadap faktor permodalan meliputi kecukupan modal dan pengelolaan modal tersebut dibandingkan dengan jumlah aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR). Berdasarkan SE BI No. 26/2/BPPP mengatur bahwa rasio kecukupan modal minimum atau CAR dari persentase tertentu terhadap ATMR adalah sebesar 8%.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Proposal Bisnis

Ide membangun usaha Sudah punya toko, kamera, laptop Butuh Printer, Daftar agen pulsa, skill ngeprint foto, pemodal, kawan diajak joi...