EKSISTENSI MANAJEMEN
PERMODALAN DALAM MENJAGA
TINGKAT KESEHATAN BAGI
BANK SYARI’AH
0
L
E
H
Eko Bahtiar
PENDAHULUAN
Bank pada
umumnya dan bank syari’ah pada khususnya adalah lembaga yang didirikan
dengan orientasi laba (profit oriented). Untuk
mendirikan lembaga demikian
ini perlu didukung dengan aspek permodalan yang kuat. Kekuatan aspek permodalan
ini dimungkinkan terbangunnya kondisi bank yang dipercaya oleh masyarakat.
Sebagaimana diketahui bersama, bank adalah lembaga kepercayaan.
Sehubungan
dengan persoalan kepercayaan masyarakat terhadap bank tersebut, maka manajemen bank harus menggunakan semua perangkat operasionalnya untuk mampu menjaga
kepercayaan masyarakat itu. Salah satu perangkat yang sangat strategis dalam
menopang kepercayaan itu adalah permodalan yang cukup memadai.
Menurut
Zainul Arifin secara tradisional, modal didefinisikan sebagai sesuatu yang
mewakili kepentingan pemilik dalam suatu perusahaan. Berdasarkan
nilai buku,
modal didefinisikan sebagai kekayaan bersih (net worth) yaitu
selisih antara nilai
buku dari aktiva dikurangi dengan nilai buku dari kewajiban (liabilities). Pada suatu
bank, sumber perolehan modal bank dapat diperoleh dari beberapa sumber. Pada
awal pendirian, modal bank diperoleh dari para pendiri dan para pemegang saham.
Pemegang saham menempatkan modalnya pada bank dengan harapan memperoleh
hasil keuntungan di masa yang akan datang. Sebagai
lembaga kepercayaan, bank tidak hanya dibutuhkan atau bermanfaat bagi
individu dan masyarakat secara keseluruhan, tetapi juga sangat berperan dalam pertumbuhan
dan perkembangan ekonomi suatu negara. Dalam proses intermediasi, dana
yang dikerahkan atau dimobilisasi oleh suatu bank selanjutnya akan disalurkan dan
diinvestasikan ke sektor-sektor ekonomi yang produktif. Kegiatan bank ini tentu saja akan meningkatkan investasi, produksi, serta konsumsi barang dan jasa yang berarti
akan meningkatkan kegiatan ekonomi suatu negara. Sementara itu, perbankan juga
sangat berperan dalam pelaksanaan kebijakan moneter. Efektivitas kebijakan moneter
akan sangat dipengaruhi oleh kesehatan dan stabilitas sektor perbankan.
Kesehatan
suatu bank tercermin dalam laporan keuangan yang dikeluarkan bank
tersebut dimana laporan keuangan tersebut telah diaudit oleh kantor akuntan publik.
Penilaian kesehatan perbankan dilakukan setiap periode. Dalam setiap penilaian
ditentukan kondisi suatu bank. Bagi bank yang sudah dinilai sebelumnya dapat
pula dinilai apakah ada peningkatan atau penurunan kesehatannya. Bagi bank yang
menurut penilaian sehat atau kesehatannya terus meningkat tidak jadi masalah, karena
itulah yang diharapkan dan supaya tetap dipertahankan terus, akan tetapi bagi
bank
yang terus-menerus tidak sehat, maka harus mendapatkan pengarahan atau bahkan
sangsi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Bank
Indonesia, sebagai bentuk perhatian terhadap kesehatan bank telah mengeluarkan
kebijakan penilaian tingkat kesehatan bank dengan metode CAMELS berdasarkan
PBI No. 6/10/2004 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum dengan
metode CAMELS yang merupakan penilaian kesehatan bank terhadap enam faktor
yakni Capital, Asset, Management, Earning, Liqudity dan Sensitivity
to Market Risk.
Kebijakan penilaian tingkat kesehatan bank kembali diperbarui oleh Bank Indonesia
pada tanggal 25 Oktober 2011 dengan mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia
No.13/PBI/2011. Peraturan baru ini merupakan penyempurnaan dari metode
CAMELS yang sebelumnya digunakan. Metode baru yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia merupakan metode dengan pendekatan risiko yakni Risk-based
Bank
Rating. Metode Risk-based Bank Rating atau RBBR
merupakan metode yang terdiri dari
empat faktor penilaian yakni Risk Profile, Good Corporate
Governance (GCG), Earning dan Capital.
PEMBAHASAN
Bank sebagai
unit bisnis membutuhkan darah bisnis, yaitu berbentuk modal. Dengan
kata lain, modal bank adalah aspek penting bagi suatu unit bisnis bank. Sebab
beroperasi tidaknya atau dipercaya tidaknya suatu bank, salah satunya dipengaruhi
oleh kondisi kecukupan modal. Menurut Jhonson and Jhonson, modal bank
mempunyai tiga fungsi, antara lain:
Pertama, sebagai
penyangga untuk menyerap kerugian operasional dan kerugian
lainnya. Dalam fungsi ini modal memberikan perlindungan terhadap kegagalan
atau kerugian bank dan perlindungan terhadap kepentingan para deposan.
Kedua,
sebagai dasar untuk menetapkan dasar maksimum pemberian kredit. Hal
ini adalah merupakan pertimbangan opersional bagi bank sentral, sebagai regulator,
untuk membatasi jumlah pemberian kredit kepada setiap individu nasabah
bank. Melalui pembatasan ini bank sentral memaksa bank untuk melakukan
diversifikasi kredit mereka agar dapat melindungi diri terhadap kegagalan
kredit dari satu individu debitur.
Ketiga,
modal juga menjadi dasar perhitungan bagi para partisipan pasar untuk
mengevaluasi tingkat kemampuan bank secara relative untuk menghasilkan keuntungan.
Tingkat keuntungan bagi para investor diperkirakan dengan membandingkan
keuntungan bersih dengan ekuitas. Para partisipan pasar membandingkan
return on investement diantara bank-bank yang ada.
Sementara
itu, Breton C. Leavitt, staff Dewan Gubernur Bank Sentral Amerika,
dalam kaitannya dengan fungsi dari modal bank, menekankan ada empat hal
yaitu:
1.
Untuk melindungi deposan yang tidak diasuransikan, pada saat bank dalam keadaan
insolvable dan likuidasi.
2.
Untuk menyerap kerugian yang tidak diharapkan guna menjaga keprcayaan masyarakat
bahwa bank dapat terus beroperasi.
3.
Untuk memperoleh saran fisik dan kebutuhan dasar lainnya yang diperlukan untuk
menawarkan pelayanan bank.
4.
Sebagai alat pelaksanaan peraturan pengendalian ekspansi aktiva yang tidak tepat.
Melihat
fungsi modal pada suatu bank yang disampaikan di atas menunjukkan, bahwa
kedudukan modal merupakan hal penting yang harus dipenuhi
terutama oleh pendiri bank dan para manajemen bank selama beroperasinya
bank tersebut.
B.
ASPEK PERMODALAN BANK SYARI’AH
Untuk dapat
mendirikan suatu BUS (Bank Umum Syari’ah) jumlah modal disetor
sekurang-kurangnya sebesar Rp 3.000.000.000.000 (tiga triliun rupiah) demikian
ditentukan oleh Pasal 4 ayat (1) SK DIR Bank Indonesia 32/34/1999. Modal
disetor bagi bank yang berbentuk hukum koperasi adalah simpanan pokok, simpanan
wajib, dan hibah sebagaiman diatur dalam Undang-undang tentang
Perkoperasian
(Pasal 4 ayat (2)). Modal disetor berasal dari warga Negara asing dan
atapuluh Sembilan perseratus) dari modal disetor bank yang bersangkutan (Pasal
4 ayat
(3)
Dari
ketentuan tersebut dapat disimpulkan bagaimana sikap Bank Indonesia, yaitu
bahwa apabila ada pihak asing yang menginginkan untuk mendirikan suatu BUS,
maka pihak asing harus bermitra dengan mitra Indonesia. Namun, ketentuan ketentuan
yang membolehkan mitra asing menguasai saham sampai 99%, dengan kata
lain mitra Indonesia hanya menguasai saham sebesar 1% saja, tidak akan dapat
memberikan kedudukan yang cukup berarti bagi mitra Indonesia tersebut dalam
kemitraan di BUS itu. Kalau dilihat pula dari ketentuan Undang-undang No.1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, jumlah 1% itu belum sampai mencapai
batas minimum dari pemegang saham yang disebut pemegang saham minoritas
yang dilindungi haknya oleh Undang-undang. Menurut Undang-undang No.1
Tahun 1995 untuk dapat memperoleh hak-haknya sebagai pemegang saham minoritas,
pemegang saham tersebut harus memiliki sekurang-kurangnya 10% bagian
dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah. Apabila mitra Indonesia
ingin mempunyai hak-hak tertentu dalam BUS tersebut, seyogianya agar dalam
anggaran dasar BUS yang berbentuk Perseroan Terbatas, diatur dan ditegaskan
dengan sebaik mungkin mengenai hak-haknya, terutama yang menyangkut
kedudukannya di Direksi dan atau Dewan Komisaris bank tersebut. Menurut
ketentuan Pasal 14 SK DIR BI 32/34/1999, sumber dan yang digunakan
dalam rangka kepemilikan bank dilarang berasal dari:
a.
Pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apa pun dari BUS dan atau pihak
lain di Indonesia.
b.
Sumber yang diharamkan, menurut Prinsip Syari’ah, termasuk dari dan untuk tujuan
pencucian uang (money laundering). untuk badan hukum
asing harus berjumlah setinggi-tingginya 99% (Sembilan) Sumber utama
modal bank syariah adalah modal inti (core capital) dan kuasi ekuitas.
Modal inti adalah modal yang berasal dari para pemilik bank, yang terdiri dari
modal yang disetor oleh para pemegang saham, cadangan dan laba ditahan. Sedangkan
kuasi ekuitas adalah dana-dana yang tercatat dalam rekening-rekening bagi
hasil (mudharabah). Modal inti inilah yang berfungsi
sebagai penyangga dan penyerap
kegagalan atau kerugian bank dan melindungi kepentingan para pemegang
rekening titipan (wadi’ah) atau pinjaman (qard), terutama atas
aktiva yang
didanai oleh modal sendiri dan dana-dana wadi’ah atau qard. Sebenarnya
dana-dana rekening bagi hasil (mudharabah) dapat juga dikategorikan
sebagai modal, yang oleh karenanya disebut kuasi ekuitas. Namun demikian
rekening ini hanya dapat menanggung resiko atas aktiva yang dibiayai oleh
dana dari rekening bagi hasil itu sendiri. Selain itu, pemilik rekening bagi hasil
dapat menolak untuk menanggung resiko atas aktiva yang dibiayainya, apabila
terbukti bahwa resiko tersebut timbul akibat salah urus (mis
management), kalalaian
atau kecurangan yang dilakukan oleh manajemen bank selaku mudharib. Modal
merupakan bagian dari dana yang dapat digunakan bank dalam aktivitas kesehariannya. Hal penting berkaitan dengan masalah dana adalah bagaimana
melakukan aktivitas manajemen dana. Manajemen dana adalah proses pengelolaan,
penghimpunan dan pengalokasian dana masyarakat serta dana modal untuk
mendapatkan tujuan Bank Syari’ah secara efektif dan efisien.
Modal inti (tier 1) terdiri dari:
1. Modal setor,
yaitu modal yang disetor secara efektif oleh pemilik. Bagi bank milik
koperasi modal setor tediri dari simpanan pokok dan simpanan wajib para
anggotanya.
2. Agio saham, yaitu selisih lebih dari
harga saham dengan nilai nominal saham.
3. Modal sumbangan, yaitu modal yang diperoleh
kembali dari sumbangan saham, termasuk selisih nilai yang tercatat dengan harga
(apabila saham tersebut terjual).
4. Cadangan umum, yaitu
cadangan yang dibentuk dari penyisihan laba yang ditahan dengan persetujuan
RUPS.
5. Cadangan tujuan, yaitu
bagian laba setelah pajak yang disishkan untuk tujuan tertentu atas persetujuan
RUPS.
6. Laba ditahan, yaitu saldo
laba bersih setelah pajak yang oleh RUPS diputuskan untuk tidak dibagikan.
7. Laba tahun lalu, yaitu laba
bersih tahun lalu setelah pajak, yang belum ditetapkan penggunaannya oleh RUPS.
Jumlah laba tahun lalu hanya 50% ditetapkan sebagai modal
inti. Bila tahun lalu rugi harus dikurangkan terhadap modal inti.
8. Laba tahun berjalan, yaitu
laba sebelum pajak yang diperoleh dalam tahun berjalan.
- Laba ini diperhitungkan
hanya 50% sebagai modal inti.
- Bila tahun berjalan rugi,
harus dikurangkan terhadap modal inti.
9. Bagian laporan bersih anak
perusahaan yang laporan keuangannya dikonsolidasikan, yaitu modal inti anak
perusahaan setelah dikompensasikan dengan pernyataan bank pada anak perusahaan
tersebut.
Bila dalam pembukuan bank
terdapat goowill, maka jumlah modal inti harus dikurangkan dengan nilai goodwill tersebut. Bank syari’ah dapat mengikuti sepenuhnya pengkategorian
unsur-unsur tersebut di atas sebagai modal inti, karena tidak ada hal-hal yang
bertentangan dengan prinsip syari’ah.
Modal pelengkap (tier-2) terdiri atas cadangan-cadangan yang dibentuk bukan dari laba setelah pajak
serta pinjaman yang sifat.nya dipersamakan dengan modal.
Secara terinci modal
pelengkap dapat berupa:
1. Selisih
penilaian kembali asset tetap.
2.
Cadangan penghapusan aktiva yang diklasifikasikan.
3.
Modal pinjaman yang mempunyai ciri-ciri:
a.
Tidak dijamin oleh bank yang bersangkutan dan dipersamakan dengan modal dan
telah dibayar penuh.
b.
Tidak dapat dilunasi atas inisiatif pemilik, tanpa persetujuan BI.
c.
Mempunyai kedudukan yang sama dengan modal dalam hal memikul kerugian bank.
d.
Pembayaran bunga dapat ditangguhkan bila bank dalam keadaaan rugi.
4.
Pinjaman subordinasi yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.
Ada perjanjian tertulis antara pemberi pinjaman dengan bank.
b.
Mendapat persetujuan dengan BI.
c.
Tidak dijamin oleh bank yang bersangkutan.
d.
Minimal berjangka 5 tahun.
e.
Pelunasan pinjaman harus dengan persetujuan BI.
f.
Hak tagih daam hal terjadi likuidasi berlaku paling akhir (kedudukannya sama
dengan modal).
Modal
pelengkap ini hanya dapat diperhitungkan sebagi modal setinggitingginya 100%
dari jumlah modal inti. Khususnya menyangkut
modal pinjamandan pinjaman subordinasi, bank syari’ah tidak dapat
mengkategorikannya sebagai modal, karena pinjaman harus tunduk pada prinsip qard dan qard tidak boleh diberikan
syarat-syarat seperti ciri-ciri atau syarat-syarat yang diharuskan dalam ketentuan
tersebut.
Modal
pelengkap tambahan (tier-3) adalah
investasi subordinasi jangka pendek
yang memenuhi kriteria Bank Indonesia sebagai berikut:
a.
Berdasarkan prinsip mudharabah atau musyarakah.
b.
Tidak dijamin oleh Bank yang bersangkutan dan telah disetor penuh.
c.
Memiliki jangka waktu perjanjian sekurang-kurangnya dua tahun.
d. Tidak dapat dibayar sebelum jadwal waktu
yang ditetapkan dalam perjanjian dengan persetujuan Bank Indonesia.
e. Terdapat klausul yang
mengikat yang menyatakan bahwa tidak dapat dilakukan penarikan angsuran pokok,
termasuk pembayaran pada saat jatuh tempo, apabila pembayaran dimaksud
menyebabkan kewajiban penyediaan modal minimum bank tidak memenuhi ketentuan
yang berlaku.
f. Terdapat perjanjian
penempatan investasi subordinasi yang jelas termasuk jadwal pelunasannya.
g. Memperoleh persetujuan
terlebih dahulu dari Bank Indonesia. Modal pelengkap tambahan, dalam
perhitungan kewajiban penyediaan modal minimum, hanya dapat digunakan untuk
memperhitungkan risiko pasar dengan memenuhi dua kriteria, yaitu:
1. Tidak melebihi 25% dari
bagian modal inti yang dialokasikan untuk memperhitungkan
risiko pasar.
2. Jumlah modal pelengkap
dan modal pelengkap tambahan sebesar-besarnya 100% dari modal inti.
Modal pelengkap yang tidak
digunakan atau investasi subordinasi yang melebihi 50% dari modal
inti dapat ditambahkan untuk atau digunakan sebagai komponen modal pelengkap
tambahan dengan tetap memenuhi syarat seperti dua kriteria tersebut.
C. PENETAPAN MODAL MINIMUN
Bank yang memiliki tingkat
kecukupan modal baik menunjukkan indikator sebagai bank yang sehat.
Sebab kecukupan modal bank menunjukkan keadaannya yang dinyatakan dengan
suatu rasio tertentu yang disebut rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR). Tingkat kecukupan modal ini dapat
diukur dengan cara:
1.
Membandingkan modal dengan dana-dana pihak ketiga.
Dilihat
dari sudut pandang kepentingan deposan, perbandingan antara modal dengan
pos-pos pasiva merupakan petunjuk tentang tingkat keamanan simpanan
masyarakat pada bank. Perhitungannya merupakan rasio modal dikaitkan
dengan simpanan pihak ketiga (giro, deposito dan tabungan) sebagai berikut:
Dari
perhitungan tersebut diketahui bahwa rasio modal atas simpanan cukup dengan
10% dan dengan rasio itu permodalan bank dianggap sehat. Rasio antara
modal dan simpanan masyarakat harus dipadukan dengan memperhitungkan
aktiva yang mengandung risiko. Oleh karena itu modal harus
dilengkapi oleh berbagai cadangan sebagai penyangga modal, sehingga secara
umum modal bank terdiri dari modal inti dan modal pelengkap.
2.
Membandingkan modal dengan aktiva berisiko.
Ukuran
kedua inilah yang menjadi kesepakatan BIS (Bank for
International Settlement) yaitu organisasi bank sentral dari Negara-negara
maju yang disponsori
oleh Amerika Serikat, Kanada, Negara-negara Eropa Barat dan Jepang.
Kesepakatan tentang ketentuan permodalan itu dicapai pada tahun 1988,
dengan menetapkan CAR, yaitu rasio minimum yang mendasarkan kepada
perbandingan antara modal dengan aktiva berisiko. Kesepakatan ini dilatarbelakangi
oleh hasil pengamatan para ahli perbankan negara-negara maju,
termasuk para pakar IMF dan World Bank, tentang adanya ketimpangan struktur
dan sistem perbankan internasional. Hal ini didukung oleh beberapa indikasi
sebagai berikut:
a.
Krisis pinjaman negara-negara Amerika Latin telah mengganggu kelancaran arus
peredaran uang internasional.
b.
Persaingan yang dianggap unfair antara
bank-bank Jepang dengan bankbank Amerika dan Eropa di Pasar Uang Internasional.
Bank-bank Jepang memberikan pinjaman aman lunak (bunga rendah) karena ketentuan
CAR di negara itu amat lunak, yaitu antara 2 sampai 3 persen saja.
c.Terganggunya
situsi pinjaman internasional yang berakibat terganggunya perdagangan
internasional.
Berdasarkan
indikasi-indikasi itu lalu BIS menetapkan ketentuan perhitungan CAR
yang harus diikuti oleh bank-bank di seluruh dunia sebagai aturan main dalam
kompetisi yang fair di pasar keuangan global, yaitu rasio
minimum 8%permodalan
terhadap aktiva berisiko. Idealnya besaran CAR sebesar 12-14%. Besaran
CAR ini tergantung pada kebijakan Negara.
D.
PENGHITUNGAN CAPITAL ADEQUACY RATIO (CAR)
Perhitungan kebutuhan modal didasarkan pada aktiva tertimbang menurut risiko
(ATMR). Yang dimaksud aktiva dalam perhitungan ini mencakup baik aktiva
yang tercantum dalam neraca maupun aktiva yang bersifat administratif sebagaimana
tercermin dalam kewajiban yang masih bersifat kontingen dan atau komitmen
yang disediakan bagi pihak ketiga. Terhadap masing-masing jenis aktiva
tersebut ditetapkan bobot risiko yang besarnya didasarkan pada kadar risiko yang
terkandung dalam aktiva itu sendiri atau yang didasarkan atas penggolongan nasabah,
penjamin atau sifat barang jaminan.
1.
CAR dengan memperhitungkan risiko pembiayaan:
2.
CAR dengan memperhitungkan risiko pembiayaan dan risiko pasar:
E.
PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN PERBANKAN
Unsur kepercayaan masyarakat terhadap sebuah bank dapat berpengaruh terhadap
kemampuan bank dalam menghimpun dana-dana masyarakat atau dari kelembagaan
(institusi) tergantung pada kinerja intemal bank sendiri (dan kinerja perbankan
pada umumnya) yang diwakili oleh gambaran dari tingkat kesehatan bank.
Kinerja itu mencakup unsur-unsur dalam CAMEL (Capital,
Asset Quality, Management, Earning Capacity serta Liquidity) Aspek-aspek
tersebut dapat dipantau
oleh masyarakat melalui laporan keuangan bank yang dipublikasi, kemampuan
bank mencetak laba dan menjaga likuiditas serta integritas dan kredibilitas
para manajemen (direksi) dan pengawas (komisaris) bank yang bersangkutan.
Gambaran
kinerja sebuah bank ditunjukkan oleh data atau laporan keuangan
yang meliputi neraca serta income statement dan rekening
administratif (off balance
sheet) menggambarkan potret dan kinerja bank. Secara implisit, laporan
itu menggambarkan pula risiko-risiko apa saja yang mungkin sedang dihadapi
oleh bank yang bersangkutan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja bank
dan unsur-unsur risiko inilah yang harus diantisipasi oleh manajemen dalam usahanya
mencapai sasaran yang ditetapkannya.
1.
Capital (Permodalan)
Capital
(Permodalan) adalah untuk menjaga kesehatan struktur permodalan
bank yang sudah beroperasi. Bank Indonesia mengendalikannya dengan
mengeluarkan ketentuan tentang jumlah minimal CAR yaitu delapan persen
(8%) dari jumlah aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) yang
dimiliki
bank agar diharapkan bahwa modal tersebut mampu melindungi stakeholder
lain selain pemilik dalam menghadapi berbagai jenis risiko yang dihadapi
oleh bank tersebut. Pada dasarnya besaran CAR (Capital
Adequacy Ratio) suatu bank dihitung dengan membagi besaran modal bank
tersebut dengan
besaran ATMR (Aktiva Tertimbang Menurut Risiko)-nya. Sedangkan dalam
pengertian modal, dicakup baik modal inti maupun modal pelengkap.
2. Asset Quality
(Kaulitas Aktiva)
Menurut
Sutojo “Kualitas harta atau aktiva bank ditentukan oleh kemungkinan
menguangkan kembali atau kolektibilitas aktiva tersebut”. Aktiva
produktif adalah penanaman dana bank baik dalam rupiah maupun valuta
asing dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan dana antar bank
penyertaan,
termasuk komitmen dan kontijensi pada transaksi rekening administratif.
3.
Management Quality (Kualitas Manajemen Bank)
Kualitas
Manajemen Bank mencerminkan tingkat efektifitas yang dapat dicapai
oleh usaha operasional bank.15 Untuk menilai
kegiatan bank yang yang dikelola
sehari-hari dari kualitas manajemen juga bisa dilihat dengan menggunakan
dua faktor, yaitu faktor :
a)
Manajemen Umum yang terdiri dari manajemen strategi, manajemen structural dan
manajemen system dan kepemimpinan.
b)
Manajemen Risiko yang terdiri dari manajemen likuiditas, manajemen kredit,
manajemen operasional dan manajemen Hukum pemilik dan Pengurus
4.
Earnings Capacity (Rentabilitas) Penilaian terhadap
faktor rentabilitas didasarkan pada :
a.
Rasio laba sebelum pajak dalam 12 bulan terakhir terhadap rata-rata volume
usaha dalam periode yang sama.
b.
Rasio biaya operasional dalam 12 bulan terakhir terhadap pendapatan operasional
dalam periode yang sama.
Bank
Indonesia menilai keberhasilan profitabilitas dengan menggunakan dua macam
tolak ukur, yaitu Return On Assets (ROA) minimal
1,5% pendapatan operasional
dan rasio perbandingan antara biaya operasional dengan pendapatan
operasional (BOPO) tidak lebih besar dari 90% pendapatan operasional
menurut Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei
2004.
5.
Liquidity (Likuiditas Keuangan)
Likuditas
adalah penilaian atas kemampuan bank yang bersangkutan untuk
membayar semua hutang-hutangnya terutama simpanan tabungan giro, dan
deposito pada saat ditagih dan dapat pula memenuhi semua permohonan kredit
yang layak dibiayai. Dalam likuiditas perbankan tidak diukur dari acid tes ratio maupun current ratio. Rasio
likuiditas yang lazim digunakan dalam dunia
perbankan terutama diukur dari loan to deposit ratio (LDR). LDR
sangat penting
dikarenakan bank menjalankan fungsi intermediasi yaitu menghimpun dana
dari masyarakat dan menyalurkannya dalam bentuk kredit.
Kebijakan
penilaian tingkat kesehatan bank kembali diperbarui oleh Bank Indonesia
pada tanggal 25 Oktober 2011 dengan mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia
No.13/PBI/2011. Peraturan baru ini merupakan penyempurnaan dari metode
CAMEL yang sebelumnya digunakan. Metode baru yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia merupakan metode dengan pendekatan risiko yakni Risk-based Bank Rating. Metode Risk-based Bank Rating atau RBBR
merupakan metode yang
terdiri dari empat faktor penilaian yakni Risk Profile,
Good Corporate Governance (GCG), Earning dan Capital.
Sesuai dengan
Surat Edaran Bank Indonesia No. 13/24/DPNP 25 Oktober 2011.
Menurut SE BI No. 13/24/DPNP 25 Oktober 2011, bank wajib memelihara dan
atau meningkatkan Tingkat Kesehatan Bank dengan menerapkan prinsip kehati-hatian
dan manajemen risiko dalam melaksanakan kegiatan usaha. Penilaian
Tingkat Kesehatan Bank berbasis risiko (Risk-Based Bank Rating) adalah
penilaian yang komprehensif dan terstruktur terhadap hasil integrasi profil risiko
dan kinerja yang meliputi penerapan tata kelola yang baik, rentabilitas, dan permodalan.
Pendekatan tersebut memungkinkan Bank Indonesia sebagai lembaga
pengawas perbankan di Indonesia melakukan tindakan pengawasan yang sesuai
dan tepat waktu karena penilaian dilakukan secara komprehensif terhadap semua
faktor penilaian dan difokuskan pada risiko yang signifikan serta dapat segera
dikomunikasikan kepada bank dalam rangka menetapkan tindak lanjut pengawasan.
1.
Profil Risiko (Risk Profile)
Risk
Profile (profil risiko) menjadi dasar penilaian tingkat bank pada saat
ini dikarenakan setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh bank sangat memungkinkan
akan timbulnya risiko. Bank Indonesia menjelaskan risikorisko yang
diperhitungkan dalam menilai tingkat kesehatan bank dengan metode
Risk-Based Bank Rating dalam Surat Edaran Bank Indonesia No 13/24/DNPN
pada tanggal 25 Oktober 2013 terdiri dari 8 jenis risiko yaitu, risiko
pasar, risiko kredit, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko hukum, risiko
stratejik, risiko kepatuhan dan risiko reputasi”.
2. Good
Corporate Governance (GCG).
Penilaian
terhadap faktor GCG mencakup kedalam tiga aspek utama yakni, governance
structure, governance process, dan governance outcomes. Governance
Structure yang mencakup pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Komisaris dan Direksi
serta kelengkapan
dan pelaksanaan tugas komite. Governance Process mencakup penerapan
fungsi kepatuhan bank dan Governance Outcomes mencakup transparansi
kondisi keuangan dan non keuangan, laporan pelaksanaan GCG dan
pelaporan internal. Fungsinya sebagai tolok ukur kinerja dan tata kelola manajemen
bank dari tahun ke tahun.
3.
Rentabilitas (earning) merupakan salah satu faktor yang
digunakan dalam pengukuran tingkat kesehatan bank. Penilaian terhadap faktor
ini mencakup atas
kinerja rentabilitas, sumber-sumber rentabilitas, kesinambungan (suistainability)
rentabilitas, dan manajemen rentabilitas. SE BI No 13/24/DPNP
menerangkan kinerja rentabilitas dapat dinilai dengan menggunakan
rasio keuangan yakni Return on Asset (ROA) dan Net Interest Margin (NIM). ROA yaitu mengukur manajemen bank dalam memperoleh laba
keseluruhan. Berfungsi untuk mengetahui seberapa besar kemampuan manajemen
bank dalam menghasilkan laba dari aset yang dimiliki. Semakin besar
ROA suatu bank, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank
tersebut dan semakin baik pula posisi bank tersebut dari segi penggunaan
asset. NIM yaitu mengukur pengelolaan aktiva produktif
sehingga
bisa menghasilkan pendapatan bunga bersih. Pendapatan bunga bersih
diperoleh dari pendapatan bunga dikurangi beban bunga. Semakin besar
rasio NIM, maka semakin meningkat pendpatan bunga atas aktiva produktif
yang dikelola bank. Sehingga, kemungkinan bank dalam kondisi bermasalah
semakin kecil.
4.
Faktor permodalan (Capital) dapat
dinilai dengan menggunakan rasio keuangan yakni Capital
Adequecy Ratio (CAR). Penilaian terhadap faktor permodalan
meliputi kecukupan modal dan pengelolaan modal tersebut dibandingkan
dengan jumlah aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR). Berdasarkan
SE BI No. 26/2/BPPP mengatur bahwa rasio kecukupan modal minimum
atau CAR dari persentase tertentu terhadap ATMR adalah sebesar 8%.