Uas Ulumul Quran
soal
Jawaban
1.
Tuliskan ayat Al-Baqarah 2-3
ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِين
الَّذِينَ
يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ
يُنْفِقُونَ
2.
Terjemahan surah Al-Baqarah ayat 2-3
Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan
padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.
(Yaitu)
mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan shalat, dan
menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka.
3.
Cari tafsir mengenai surat Al-Baqarah ayat 2-3
ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan
padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (al – Baqarah : 2)
قَالَ اِبْن جُرَيْج قَالَ اِبْن عَبَّاس ذَلِكَ
الْكِتَاب أَيْ هَذَا الْكِتَاب وَكَذَا قَالَ مُجَاهِد وَعِكْرِمَة وَسَعِيد بْن جُبَيْر
وَالسُّدِّيّ وَمُقَاتِل بْن حَيَّان وَزَيْد بْن أَسْلَمَ وَابْن جُرَيْج أَنَّ ذَلِكَ
بِمَعْنَى هَذَا
Ibnu Juraij menceritakan bahwa Ibnu Abbas
mengatakan “ذَلِكَ الْكِتَابُ”
berarti “Kitab ini”. Hal yang sama jug adikatakan oleh Mujahid, Ikrimah, Sa’id
bin Jubair, as-Suddi, Muqatil bin hayyan, Zaid bin Aslam, Ibnu Juraij, bahwa { ذَلِكَ } itu berarti “{هَذَا} (ini)”
Bangsa Arab berbeda pendapat mengenai kedua
ismul insyarah (kata petunjuk) tersebut. Mereka sering memakai keduanya secara
tumpang tindih. Dalam percakapan hal seperti itu sudah menjadi suatu yang
dimaklumi. Dan hal itu juga telah di ceritakan oleh Imam Bukhori dari Mu’amamar
bin Mutsanna, dari Abu ‘Ubaidah.
{ الْكِتَابُ} yang dimaksud dalam ayat diatas
adalah al-Qur’an. Dan ar-Raib maknanya adalah { الشَّكّ} adalah ragu-ragu. { لا رَيْبَ فِيهِ} berarti tidak memiliki keraguan
didalamnya, yaitu bahwa al Qur’an ini sama sekali tidak mengandung keraguan
didalamnya, bahwa ia diturunkan dari sisi Allah, sebagaimana difirmankan dalam
surah as-Sajdah:
تَنْزِيلُ الْكِتَابِ لا رَيْبَ فِيهِ مِنْ رَبِّ
الْعَالَمِينَ
Turunnya Al Qur’an yang tidak ada keraguan
padanya, (adalah) dari Tuhan semesta alam. (as-Sajdah : 2)
Sebagian mufasir mengatakan bahwa arti dari { لا رَيْبَ فِيهِ} adalah janganlah kalian
mengingkarinya.
Diantara ahli Qura’ ada yang menghentikan
bacaan ketika samapa pada ayat { لا رَيْبَ }, dan memulainya kembali dengan
firman-Nya, yaitu { فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ}. Dan ada juga yang
menghendtikan bacaaan pada kata {لا رَيْبَ فِيه}. Bacaan yang terakhir inilah
yang dipandang paling tepat, karena dengan bacaan seperti itu Firman-Nya, yaitu
{ هُدًى}
menjadi sifat bagi al-Qur’an itu sendiri. Dan yang demikian itu lebih baik dan
mendalam dari sekedar pengertian yang menyatakan adalanya petunjuk didalamnya.
Jika ditinjau dari bahasa lafazh { هُدًى}berkedudukan marfu’ sebagai na’at
(sifat) dan bisa juga Manshub sebagai hal (keterangan keadaaan). Dan { هُدًى} /petuunjuk itu hanya
diperuntukan bagi orang-orang yang bertaqwa, sebagaimana Firman Allah
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ
مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
Hai manusia, sesungguhnya telah datang
kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang
berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.
(Yunus : 57)
As Suddi menceritakan, dari Abu malik dan dari
Abu Shalih dari Ibnu Abbas dan dari Murrah al-Hamdani, dari Ibnu mas’ud dari
beberapa sahabat Rasulullah shalalllahu ‘alaihi wasallam, bahwa makna { هُدًى لِلْمُتَّقِينَ} adalah cahaya bagi orang-orang
yang bertaqwa.
Abu Rauq menceritakan dari adh Dhahaq, dari
Ibnu Abbas, ia mengatakan {al-mutaqqiin} adalah orang-orang mu’min yang sangat
takut berbuata syitik kepada Allah dan senantiasa berbuat taa kepada-Nya.
وَقَالَ مُحَمَّد بْن إِسْحَاق عَنْ مُحَمَّد بْن
أَبِي مُحَمَّد مَوْلَى زَيْد بْن ثَابِت عَنْ عِكْرِمَة أَوْ سَعِيد بْن جُبَيْر عَنْ
اِبْن عَبَّاس” لِلْمُتَّقِينَ ” قَالَ الَّذِينَ يَحْذَرُونَ مِنْ اللَّه عُقُوبَته
فِي تَرْك مَا يَعْرِفُونَ مِنْ الْهُدَى وَيَرْجُونَ رَحْمَته فِي التَّصْدِيق بِمَا
جَاءَ بِهِ
Muhammad bin Ishak, dari Muhammad bin Abi
Muhammad Maula, Zaid bin tsabit, dari Ikrimah atau sa’id bin Jubair dari Ibnu
abbas, ia mengatakan : al Muttaqqin adalah orang-orang yang senantiasa
menghindari siksaaan Allah ta’ala dengan tidak meninggalkan petunjuk yang
diketahuinya dan mengharapkan rahmat-Nya dalam mempercayai apa yang terkandung
di dalam petunjuk tersebut.
Sufyan ats-Tsauri menceritakan dari seseorang,
dari Haasan al bashri, ia berkata : Firman Allah { لِلْمُتَّقِينَ} adalah orang-orang yang
benar-benar takut terhadap siksaan Allah bila mengerjakan apa yang telah
diharamkan Allah kepada mereka, serta menunaikan apa yang telah diwajibkan
kepada mereka.
Sedangkan Qatadah berkata { لِلْمُتَّقِينَ} adlaah mereka yang disifati
Allah dalam firman-Nya :
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ
الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib,
yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan
kepada mereka, (al-Baqarah : 3)
Dan pendapat yang diambil oleh Ibnu Jarir
adalah bahwa ayat ini mencakup kesemuanya dan itulah yang benar.
الَّذِينَ
يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ
يُنْفِقُونَ
(yaitu)
mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan
sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka, (yaitu) mereka yang
beriman kepada yang gaib, (al-Baqarah : 3)
{الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ }, (yaitu) mereka
yang beriman kepada yang gaib, Abu ja’far ar-Razi menceritakan dari
Abdullah, ia berkata: Iman itu adalah kebenaran.”
وَقَالَ
عَلِيّ بْن أَبِي طَلْحَة وَغَيْره عَنْ اِبْن عَبَّاس رَضِيَ اللَّه عَنْهُمَا
يُؤْمِنُونَ يُصَدِّقُونَ
Ali
bin Abi Thalhah dan juga lainnya, berkata, dari Ibnu Abbas, ra :”mereka beriman
maksudnya adalah mereka membenarkan. ” Sedangkan mu’amar, dari az-zuhri : “Iman
adalah amal.”
Ibnu
Jarir berkata bahwa yang lebih baik dan tepat adalah mereka harus mensifati
diri dengan iman kepada yang ghoib baik melalui ucapan maupun perbuatan. Lafazh
Iman kepada yang ghoib itu adalah Keimanan kepada Allah, Kitab-kitabnya dan
Rasul-rasul-Nya sekaligus membenarkan pernyataan itu melalui perbuatan.
Berkenan
dengan ini, Ibnu Katsir berkata secara asal-usul kata bahwa Iman berarti
pembenaran semata. Al Qur’an sendiri terkadang menggunakan kata ini untuk
pengertian tersebut, sebagaimana dikatakan oleh Yusuf a.s kepada ayah mereka:
وَمَا
أَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَنَا وَلَوْ كُنَّا صَادِقِينَ
Artinya
: “dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah
orang-orang yang benar.” (Yusuf : 17)
Demikian
pula jika kata iman itu dipergunakan beriringan dengan amal shalih, sebagaimana
firman Allah dalam al-Ashr : 3
إِلا
الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
Artinya
: “kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh”
Adapun
jika kata “Iman” itu dipergunakan secara mutlak, maka iman menurut syari’at
tidak mungkin ada kecuali yang diwujudkan melalui keyakinan, ucapan dan amal
perbuatan.
هَكَذَا
ذَهَبَ إِلَيْهِ أَكْثَر الْأَئِمَّة بَلْ قَدْ حَكَاهُ الشَّافِعِيّ وَأَحْمَد
بْن حَنْبَل وَأَبُو عُبَيْدَة وَغَيْر وَاحِد إِجْمَاعًا :
Demikian
itulah yang menjadi pegangan mayoritas ulama, bahkan telah ijma Imam
asy-Syafi’I, Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Ubaidah, dan lain-lain
أَنَّ
الْإِيمَان قَوْل وَعَمَل وَيَزِيد وَيَنْقُص
Artinya
: “Bahwa iman itu adalah pembenaran dengan ucapan dan amal perbuatan, bertambah
dan berkurang.”
Sebagian
mereka mengatakan bahwa beriman kepada yang ghoib sama seperti beriman kepada
yang nyata, dan bukan seperti yang difirmankan Allah mengenai orang-orang
munafik
وَإِذَا
لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَى شَيَاطِينِهِمْ
قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ
“Dan
bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: “Kami
telah beriman.” Dan bila mereka kembali kepada syaitan-setan mereka, mereka
mengatakan: “Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah
berolok-olok”. (al-baqarah : 14)
Dengan
demikian Firman-Nya { بِالْغَيْبِ } /kepada yang
ghoib adalah berkedudukan sebagai menerangkan keadaan (haal), artinya pada
saaat keadaaan mereka ghoib dari penglihatan manusia. Sedangkan mengenai makna
ghoib yang dimaksud disini berbagai ungkapan ulama terdahulu (salaf) yang
beragam, semua benar maksudnya.
Mengenai
firman Allah { يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ}
“yaitu mereka yang beriman kepada yang ghoib”
Abu
ja’far ar Razi menceritakan dari ar-Rabi’ bin Anas, dari Abu ‘Aliyah, ia
berkata :
يُؤْمِنُونَ
بِاَللَّهِ وَمَلَائِكَته وَكُتُبه وَرُسُله وَالْيَوْم الْآخِر وَجَنَّته وَنَاره
وَلِقَائِهِ وَيُؤْمِنُونَ بِالْحَيَاةِ بَعْد الْمَوْت وَبِالْبَعْثِ فَهَذَا
غَيْب كُلّه
“Mereka
beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya,
hari akhir, Surga dan neraka, serta pertemuan dengan Allah, dan juga beriman
akan adanya kehidupan setelah kematian, serta adanya kebangkitan. Dan semuanya
itu adalah hal yang ghoib.
رَوَاهُ
أَحْمَد حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَة أَنَا الْأَوْزَاعِيّ حَدَّثَنِي أَسَد بْن
عَبْد الرَّحْمَن عَنْ خَالِد بْن دُرَيْك عَنْ اِبْن مُحَيْرِيز قَالَ : قُلْت
لِأَبِي جُمْعَة حَدِّثْنَا حَدِيثًا
سَمِعْته مِنْ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَعَمْ
أُحَدِّثك حَدِيثًا جَيِّدًا : تَغَدَّيْنَا مَعَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَنَا أَبُو عُبَيْدَة بْن الْجَرَّاح فَقَالَ يَا رَسُول
اللَّه هَلْ أَحَد خَيْر مِنَّا ؟ أَسْلَمْنَا مَعَك وَجَاهَدْنَا مَعَك . قَالَ ”
نَعَمْ قَوْم مِنْ بَعْدكُمْ يُؤْمِنُونَ بِي وَلَمْ يَرَوْنِي “
Imam
Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Muhairiz, ia menceritakan bahwa ia pernah
mengatakan kepada Abu Jam’ah: Beritahukan kepada kami sebuah hadist yang engkau
dengan dari Rasulullah sholallahu ‘alahi wasallam, ia pun berkata : Baiklah aku
akan beritahukan sebuah hadist kepadamu. Kami pernah makan siang bersama
Rasulullah, dan bersama kami terdapat Abu ‘Ubaidillah bin al-Jarrah, lalu ia
bertanya: Ya Rasulullah, adakah seseorang yang lebih baik daripada kami?
Sedangkan kami telah masuk Islam bersamamu dan berjihad bersamamu juga?, Rasulullah
menjawab :
نَعَمْ
قَوْم مِنْ بَعْدكُمْ يُؤْمِنُونَ بِي وَلَمْ يَرَوْنِي
“Ya
ada, yaitu suatu kaum setelah kalian, mereka beriman kepadaku padahal mereka
tidak melihatku.”
Insya Allah
bersambung pada ayat { وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا
رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ}
Ref : Tafsir Ibnu katsir
4. Asbabun Nuzun surat Al-Baqarah ayat 2 dan 3
Diriwayatkan oleh Al-Faryabi dan Ibnu Jarir
yang bersumber dari Mujahid : bahwa empat ayat pertama dari surat Al-Baqarah
(2, 3, 4, 5) membicarakan sifat-sifat dan perbuatan kaum mukminin, dan dua ayat
berikutnya (6 dan 7) tentang kaum kafirin yang menegaskan bahwa hati,
pendengaran dan penglihatan mereka tertutup – diperingatkan atau tidak
diperingatkan, mereka tetap tidak akan beriman ; dan tiga belas ayat
selanjutnya lagi (8 s/d 20) menegaskan ciri-ciri, sifat dan kelakuan kaum
munafikin.
5.
Munasabah surat Al-Baqarah ayat 2 dan 3
6.
Kefahaman saya mengenai surat Al-Baqarah ayat
2 dan 3
Dari terjemahan dan tafsir mengenai surat
Al-Baqarah ayat 2 dan 3 saya memahami bahwa kitab Al-Quran adalah kitab yang
sempurna tidak ada keraguan di dalamnya,
diturunkan dari sisi Allah bukan buatan mahluk manusia dsb tidak ada yang dapat membuat kitab seperti
Al-Quran bahkan menyamai satu suratnya pun tidak akan bisa. Kitab ini
(Al-Quran) dijaga Allah kebenaran sampai hari akhir (kiamat) sehingga
membedakan dengan kitab-kitab lain seperti injil dan taurat yang tidak Allah
janjikan isinya akan tetap sama sampai hari kiamat. Hal ini dapat dibuktikan
dari kitab injil yang kita ketahui terdapat kitab injik perjanjian lama dan
perjanjian baru. sedangkan di dalam kitab Al-Quran yang telah Allah turunkan
dari sisinya sampai hari akhirpun (kiamat) akan tetap sama baik huruf-hurufnya,
susunan huruf-hurufnya, ayat-ayat yang terkandung di dalamnya. Allah telah
menjamin hal itu. Lalu diturunkan kitab
Al-Quran sebagai petunjuk umat manusia untuk mencapai ketakwaan.
Ketakwaan yang dimaksudkan adalah mengimani
sesuatu yang gaib, mengerjakan shalat dan menginfakan sebagian rezeki kepada
orang lain. Sudah menjadi sifat bawaan manusia untuk tidak dapat mengetahui segala
hal yang ada di dunia ini. Sehingga tidak perlu dipertanyakan seperti apa itu
Allah-ciri-cirinya- karena semua itu hal yang gaib. Begitu juga bagaimana dunia
ini terbentuk manusia tidak akan sampai akalnya untuk bisa membayangkan
kejadian tersebut jadi cukup dengan mengimani hal-hal tersebut maka kita akan
mencapai ketakwaan.
Shalat dalam ajaran agama islam adalah tiang
agama. Salah satu dari rukun islam yang harus dikerjakan oleh umat islam. Shalat
juga sebagai amalan yang pertama kali dihisab dihari penghitungan. Sehingga untuk
mencapau takwa Allah berpesan untuk mengerjakan shalat setiap harinya 5 x
sesuai dengan apa yang telah dikerjakan nabi Muhammad SAW ketika hidup. Shalat adalah
ibadah yang hanya diturunkan kepada kaum setelah nabi Muhammad, mendapatkan
perintah untuk mengerjakan sholat sendiri sangat tidak mudah nabi Muhammad
harus melaksanakan perjalanan yang disebut isra miraj menghadap Allah langsung
dilangit ketujuh. Bukan perintah yang sembarangan karena Allah menyampaikannya
secara langsung tidak dengan perantara malaikat Jibril. Sehingga sudah
sepantasnya setiap umat islam harus mengerjakan sholat jika ingin mencapai
ketakwaan seperti apa Allah telah Allah firmankan dalam kitab Al-Quran.
Menginfakan sebagian rezeki yang telah Allah
berikan salah satu amalan yang mengantarkan kita menuju ketakwaan. Perintah untuk
menginfakan ini sangat berkaitan dengan hubungan manusia dan manusia lainnya. Maksudnya
apabila ada manusia yang telah Allah lebihkan rejekinya maka jangan lupa kepada
manusia lain atau orang lain yang masih dalam keadaan kesusahan. Ingat dalam
kitab Al-Quran tidak hanya mengajarkan atau memberikan petunjuk tentang cara
berhubungan dengan Tuhan atau Hablun minnallah tapi juga mengajarkan
berhubungan dengan sesama manusia atau yang disebut hablun minannas. Sehingga tercapailah
kehidupan yang seimbang antara berhubungan dengan Allah dan juga berhubungan
dengan manusia lainnya. Tidak meninggalkan kehidupan di dunia dan juga tidak melupakan
kehidupan setelah di dunia. Maka sempurnalah isi dari kitab Al-Quran tidak ada
lagi keraguan yang menjadi argumen untuk mengatakan bahwa kitab ini tidak
sempurna karena di dalam isinya telah mengajarkan atau telah memberikan
pedoman-pedoman yang baik dan seimbang antara kehidupan di dunia dan kehidupan
nanti di akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar