MAKALAH
HUKUM RIBA DAN BUNGA
DOSEN PENGAMPU : M. RIZA FAHMI., MA
MATA KULIAH : FIQH PERBANKAN SYARIAH
DI SUSUN
O
L
E
H
Fachri Adha
(1142310201)
Nadia Fadhilah
(1142310170)
Tuti
(1142310096)

SEMESTER / KELAS: IV/A
FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
JURUSAN PERBANKAN SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PONTIANAK 2015/2016
KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh...
Puji dan syukur kami panjatkan kepada
Allah SWT, Tuhan semesta alam. Rahmat dan keselamatan semoga senantiasa
dilimpahkan Allah Kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya, serta
para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman. Dan tak lupa penulis bersyukur
atas tersusunnya makalah ini.
Sebelumnya kami ucapkan banyak terima
kasih kepada M. Riza Fahmi.,
MA selaku dosen
pengampu yang telah memberikan kami kesempatan untuk membahas Makalah ini.
Tujuan kami menyusun makalah ini
adalah tiada lain untuk memperkaya ilmu pengetahuan kita semua dan untuk
memenuhi tugas mata kuliah Fiqh
Perbankan Syariah.
Dalam penulisan makalah ini kami juga
mengalami banyak kesulitan, terutama disebabkan oleh kurangnya ilmu yang kami miliki. Namun, berkat bimbingan dan
bantuan dari berbagai pihak akhirnya makalah ini dapat terselesaikan. Untuk itu
kami mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang terkait. Kami berharap
agar makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca dan pihak-pihak yang
membutuhkan untuk dijadikan literatur. Apabila dalam penulisan makalah ini
terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, kami mohon maaf yang
sebesar-besarnya.
Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh...
Pontianak, 16
April 2016
Daftar Isi
Kata Pengantar............................................................................................................... ii
Daftar Isi......................................................................................................................... iii
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah......................................................................................... 2
C. Tujuan Penelitian........................................................................................... 2
Bab II Pembahasan
A.
Definisi Riba................................................................................................ 3-5
B.
Jenis – jenis
riba........................................................................................... 5-6
C.
Jenis Barang
Ribawi ................................................................................... 6-7
D.
Pelarangan
riba dalam nash Al-Qur’an dan Al-Hadist................................ 7-11
E.
Definisi Bunga............................................................................................. 11
F.
Macam – macam
bunga bank....................................................................... 12-13
G.
Persamaan riba
dengan bunga...................................................................... 13-14
H.
Perbedaan riba
dengan bunga...................................................................... 15
Bab III Penutup
A.
Kesimpulan.................................................................................................. 16
B.
Saran............................................................................................................ 16
Daftar Pustaka...........................................................................................................
17
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi riba
Riba secara bahasa bermakna: ziyadah
(tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistic, riba juga berarti tumbuh
dan membesar.[1]
Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta
pokok atau modal secara batil[2].
Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namuun secara umum terdapat
benang merah yang menegaskan bahwa iba adalah pengambian tambahan, baik dalam
transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan
dengan prinsip muamalah dalam islam.
Mengenai hal ini, Allah SWT berfirman mengingatkan dalam
firman-Nya,
“hai orang-orang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil . . . . . .”
(an-Nisa : 29)
Dalam kaitannya dengan pengertian
al-bathil dalam ayat tersebut, ibnu al-Arabi al-Maliki dalam kitabnya, ahkam Al-Quran, menjelaskan,
“pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba
dalam ayat Al-Quran yaitu tambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi
pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah.”
Yang
dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis
atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil,
seperti transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek. Dalam
transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang
dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan si
penyewa. Mobil misalnya, sesudah dipakai maka nilai ekonomisnya pasti menurun
jika dibandingkan
dengan sebelumnya. Dalam hal jual beli, si pembeli membayar harga atas
imbalan barang yang diterimanya. Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para
peserta perkongsian berhak mendapatkan keuntungan karena disamping menyertakan
modal juga turut serta menanggung kemungkinan resiko kerugian yang bisa saja
muncul setiap saat.
Dalam transaksi simpan-pinjam dana, secara konvensional, si pemberi
pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang
yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan
selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil di sini adalah si peminjam
diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti untung
dalam penggunaan kesempatan tersebut.[1]
Demikian juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya hanya dengan
faktor waktu semata tanpa ada faktor orang yang menjalankannya dan
mengusahakannya. Bahkan, ketika orang tersebut mengusahakannya bisa juga untung
bisa juga rugi.
Pengertian senada disampaikan oleh jumhur
ulama sepanjang sejarah islam dari berbagai mazhab Fiqhiyyah. Diantaranya
sebagai berikut:
1. Badr ad-Din al-Ayni, pengarang Umdatul Qari Syarah Shahih al-Bukhari
“prinsip utama dalam riba adalah penambahan.
Menurut syariah, riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya
transaksi bisnis.[2]
2. Imam sarakhsi dari mazhab Hanafi
“riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam
transaksi bisnis, tanpa adanya iwadh (atau padanan) yang dibenarkan syariah
atas penambahan tersebut.[3]
3. Raghib al-Asfahani
“riba adalah penambahan atas harta pokok”
4. Imam an-Nahrawi dari Mazhab Syafi’i
Dari penjelasan imam Nawawi di atas sangat
jelas bahwa salah satu bentuk riba yang dilarang dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah
adalah penambahan atas harta pokok karena unsur waktu. Dalam dunia perbankan,
hal tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuai lama waktu pinjaman.
5. Qatadah
“riba jahiliah adalah seseorang yang menjual
barangnya secara tempo hingga waktu tertentu. Apabila telah datang saat
pembayaran dan si pembeli tidak mampu membayar, ia memberikan bayaran tambahan
atas penangguhan.”
6. Zaid bin Aslam
“yang dimaksud dengan riba jahiliah yang
berimplikasi pelipatgandaan sejalan dengan waktu adalah seseorang yang memiliki
piutang atas mitranyya pada saat jatuh tempo, ia berkata “bayar sekarang atau
tambah”.[4]
7. Mujahid
“mereka menjual dagangnnya dengan tempo.
Apabila telah jatuh tempo dan (tidak mampu bayar), si pembeli memberian
tambahan atas “tambahan waktu”.[5]
8. Ja’far ash-Shadiq dari kalangan Syi’ah
Ja’far ash-Shadiq berkata ketika ditanya mengapa Allah SWT mengharamkan riba,
“supaya orang tidak berhenti berbuat kebajikan. Hal ini karena ketika
diperkanankan untuk mengambil bunga atas pinjaman, seseorang tidak berbuat
makruf lagi atas transaksi pinjam-meminjam dan sejenisnya, padahal qard
bertujuan untuk menjalin hubungan yang erat dan kebajikan antarmanusia.[6]
9.
Imam
Ahmad bin Hanbal, Pendiri Mazhab Hanabali
Ketika Imam Ahmad bin Hanbal ditanya tentang
riba, ia menjawab, “sesungguhnya riba itu ada seseorang memiliki utang maka
dikatakan kepadanya apakah akan melunasi utang atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk
bunga pinjam) atas penambahan waktu yang diberikan.[7]
B. Jenis-jenis riba
Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah
riba utang-piutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi
riba qardh dan riba jahiliyyah. Adapun kelompok kedua, riba jual beli, terbagi
menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah.
1. Riba qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu
yang disyaratkan terhadap hutang berhutang (muqtaridh).
2. Riba jahiliyyah
Utang dibayar lebih dari pokoknya karena si
peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
3. Riba fadhl
Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar
atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk
dalam jenis barang ribawi.
4. Riba Nasi’ah
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis
barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam
nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang
diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.
Mengenai pembagian dan jenis-jenis riba,
berkata Ibnu Hajar al-Haitsami,
“riba itu terdiri dari tiga jenis, riba fadhl,
riba al-yaad, dan riba an-nasi’ah. Al-mutawally menambahkan jenis keempat yaitu
riba al-qardh. Beliau juga menyatakan bahwa semua jenis ini diharamkan secara
ijma berdasarkan nash al-Qur’an dan hadist Nabi.
C. Jenis barang ribawi
Para ahli fiqh islam telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi
dengan panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan ini kan
disampaikan kesimpulan umum dari pendapat mereka yang intinya bahwa barang
ribawi meliputi:
1. Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya;
2. Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan jagung serta bahan makanan
tambahan, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
Dalam kaitanya perbankan syariah, implikasi ketentuan tukar-menukar antar
barang-barang ribawi dapat diuraikan sebagai berikut.
Jual
beli antara barang-barang ribawi sejenis hendaklah dalam jumlah dan kadar yang
sama. Barang tersebut pun harus diserahkan saat transaksi jual beli. Misalnya
rupiah
1. dengan rupiah hendaklah Rp 5.000,00 dengan Rp 5.000,00 dan diserahkan
ketika tukar-menukar.
2. Jual beli barang-barang ribawi yang berlainan jenis diperbolehkan dengan
jumlah dana dan kadar yang berbeda dengan syarat barang diserahkan pada saat
akad jual beli. Misalnya, Rp 5.000,00 dengan 1 dollar amerika.
3. Jual beli barang ribawi dengan yang bukan ribawi tidak disyaratkan untuk
sama dalam jumlah maupun untuk diserahkan pada akad. Misalnya, mata uang (emas,
perak, atau kertas) dengan pakaian.
4. Jual beli barang-barang yang bukan ribawi diperbolehkan tanpa adanya
persamaan dan diserahkan pada waktu akad, misalnya pakaian dengan barang
elektronik.
D. Larangan riba dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah
Umat islam dilarang mengambil riba apa pun jenisnya. Larangan supaya umat
islam tidak melibatkan diri dengan riba bersumber dari berbagai surah dalam al-Qur’an
dan hadist Rasullah saw.
1. Larangan riba dalam Al-Qur’an
Larangan riba dalam al-Qur’an tidak diturunkan
sekaligus melainkan diturunkan dalam empat tahap.[1]
Tahap pertama menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang
pada satu zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu
perbuatan mendekati atau taqqarub kepada Allah SWT.
“Dan, sesuatu riba (tambahan) yang kamu
berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak bertambah
pada sisi Allah. Dan, siapa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan
untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang
yang melipatgandakan (pahalanya).” (ar-Ruum: 39)
Tahap kedua riba digambarkan sebagai sesuatu
yang buruk. Allah SWT mengancam akan memberi balasan yang keras kepada yahudi
yang memakan riba.
“maka, disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami
haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya)
dihalalkan bagi mereka, dan karena banyak menghalangi manusia dari jalan Allah,
dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang
darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami
telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang
pedih.” (an-Nisa’: 160-161)
Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan
kepada suatu tambahan yang berlipat yang berlipatganda. Para ahli tafsir
berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan
fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut. Allah berfirman,
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya
kamu mendapat keberuntungan.” (Ali Imran: 130)
Ayat ini turun pada tahun ke-3 Hijriah. Secara
umum ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat ganda bukanlah merupakan
syarat terjadinya riba (jikalau bunga berlipat ganda maka riba, tetapi jikalau
kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari praktik pembungaan uang
pada saat itu.
Demikian juga ayat ini harus dipahami secara
komprehensif dengat ayat 278-279 dari surah al-Baqarah yang turun pada tahun
ke-9 Hijriah (keterangan lebih lanjut, lihat pembahasan “Alasan pembenaran
pengembalian riba”, poin “Berlipat Ganda”)
Tahap terakhir, Allah SWT dengan jelas dan tegas
mengharamkan apa pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat
terakhir yang diturunkan menyangkut riba.
“Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang
yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka
ketahuliah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan, jika kamu bertobat
(dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiya dan
tidak pula dianiya.” (al-Baqarah: 278-279).
2.
Larangan
riba dalam As-Sunnah
Pelarangan riba dalam islam tidak hanya
merujuk pada Al-Qur’an, melainkan juga dalam Al-Hadist. Hal ini sebagaimana
posisi umum hadist yang berfungsi untuk menjelaskan lebih lanjut aturan yang
telah digariskan melalui Al-Qur’an, pelarangan riba dalam hadist lebih terinci.
Dalam amanat terakhirnya pada tanggal 9
Dzhulihajjah tahun 10 Hijriah, Rasullah saw masih menekankan sikap islam yang
melarang riba.
“ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu dan Dia pasti
akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba. Oleh karena
itu, utang akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak
kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan. Selain itu
masih banyak lagi hadist yang menguraikan masalah riba. Diantaranya:
Diriwayatkan oleh Aun bin Abi Juhaifa, “Ayahku
membeliseorang budak yang pekerjaannya membekam (mengularkan darah kotor dari
kepala) Ayahku kemudian memusnahkan peralatan bekam si budak tersebut. Aku
bertanya kepada ayah mengapa beliau melakukannya. Ayahku menjawab bahwa
Rasullah saw melarang untuk menerima uang dari transaksi darah, anjing dan
kasab budak perempuan. Beliau juga melaknat pekerjaan penato dan yang minta
ditato, menerima dan memberi riba serta beliau melaknat para pembuat gambar.”
(HR. Bukhari no. 2084 kita al-Bayu)
Diriwiyatkan oleh Abu Said al-Khudri bahwa
pada suatu ketika Bilal membawa barni (sejenis kurma berkualitas baik) ke
hadapan Rasullah saw dan beliau bertanya kepadanya, “Dari mana engkau
mendapatkannya?” Bilal menjawab, “saya mempunyai sejumlah kurma dari jenis yang
rendah mutunya dan menukarkannya dua sha’ kurma jenis barni untuk dimakan oleh
Rasullah saw.. “selepas itu Rasullah saw terus berkata, “Hati-hati! Hati-hati!
Ini sesungguhnya riba, ini sesungguhnya riba. Jangan berbuat begini, tetapi
jika kamu membeli (kurma yang mutunya lebih tinggi), jualah kurma yang mutunya
rendah untuk mendapatkan uang dan kemudian gunakanlah uang tersebut untuk
membeli kurma yang bermutu tinggi itu.” (HR Bukhari no. 2145, kitab al-Wakalah)
Diriwiyatkan oleh Abdurrahman bin Abu Bakar
bahwa ayahnya berkata “Rasullah saw melarang penjualan emas dengan emas dan
perak dengan perak kecuali sama beratnya, dan membolehkan kita menjual emas
dengan perak begitu sebaliknya sesuai dengan keinginan kita.” (HR Bukhari no.
2034, kitab al-Buyu)
Diriwiyatkan oleh Abu Said al-Khudri bahwa
Rasullah saw, bersabda “Emas hendaknya dibayar dengan emas, perak dengan perak,
gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan
garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash). Barangsiapa memberi
tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan dengan riba, penerima dan pemberi
sama bersalah.” (HR Muslim no. 2971, dalam kitab al-Mussaqah)
Diriwiyatkan oleh samurah bin Jundub bahwa
Rasullah saw bersabda “malam tadi aku bermimpi, telah datang dua orang dan
membawaku ke Tanah suci. Dalam perjalanan, sampailah kami ke suatu sungai
darah, di mana di dalamnya berdiri seorang laki-laki. Di pinggir sungai
tersebut berdiri seorang laki-laki lain dengan batu di tangannya, laki-laki
yang di tengah sungai itu berusaha untuk keluar, tetapi laki-laki yang
dipinggir sungai tadi melempari mulutnya dengan batu dan memaksanya kembali ke
tempat asal. Aku bertanya “siapakah itu?” Aku diberitahu bahwa laki-laki yang
di tengah sungai itu ialah orang yang memakan riba.” (HR Bukhari no. 6525,
kitab at-Ta’bir)
Jabir berkata bahwa Rasullah saw mengutuk
orang yang menerima riba, orang yang membayarnya dan orang yang mencatatnya,
dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda “Mereka itu semuanya sama.”
(HR Muslim no. 2995, kitab al-Musaqqah)
Diriwiyatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasullah
saw berkata “pada malam perjalan mi’raj, aku melihat orang-orang yang perut
mereka seperti rumah, di dalamnya dipenuhi oleh ular-ular yang kelihatan dari
luar. Aku bertanya kepada jibril siapakah mereka itu? Jibril menjawab bahwa
mereka adalah orang-orang yang memakan riba.”
Al-Hakim meriwiyatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa
Nabi saw bersabda “Riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan) yang paling rendah
(dosanya) sama dengan seseorang yang melakukan zina dengan ibunya”.
Diriwiyatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasullah
saw bersabda “Tuhan sesungguhnya berlaku adil karena tidak membenarkan empat
golongan masuk surga atau tidak mendapat petunjuk dari-Nya. (mereka itu adalah,
Peminum arak, pemakan riba, pemakan harta anak yatim, dan mereka yang tidak
bertanggung jawab/menelantarkan ibu-bapaknya.”
E. Definisi Bunga
Bunga (interest)
dapat dimengerti sebagai uang yang dibayarkan/diterima atas penggunaan sejumlah
pinjaman atau sejumlah uang yang disimpan. Dalam pengertian yang lebih luas
bunga dapat dianggap sebagai uang yang diperoleh dari investasi sejumlah modal
tertentu.
Menurut bahasa atau
bunga adalah uang yang dikenakan atau dibayar atas penggunaan uang.
Definisi interest menurut Samuel
G. Kling, dalam The Legal Encylopedia for Home and Business, 1960, 246
(IBI,36), “Interest is compensation for the use of money which due.”
Menurut Oxford English
Dictionary, 1989, 109 (IBI, 37) mendefinisikan,“Interest is money paid for
the use of money lent (the principal), or for forbearance of a debt, according
to a fixed ratio (rafe per cent)”.
Usury didefinisikan dalam Oxford
English Dictionary, 1989,365 (IBI,37) adalah “The fact or practice of
lending money at interest, especially in later use, the practice of charging,
taking or contracting to receive, exessive or illegal rate of interest for
money on loan.”
Menurut Cardinal de Lugo (1593-1623), mendefinisikan, “Usury
is gain immediately arising as an obligation from a loan of mutuum if gain
doesn not arise from mutuum but from purchase and sale, however unjust, it is
not usury, and likewese if it is not paid as an obligation due but from
goodwill, gratitude, or friendship, it is not usury”.
Dari beberapa definisi tersebut
dapat disimpulkan bahwa interest dan usury merupakan dua konsep yang serupa,
yaitu keuntungan yang diharapkan oleh pemberi pinjaman atas peminjaman uang
atau barang (mutuum), yang sebenarnya barang atau uang tersebut apabila tidak
ada unsur tenaga kerja tidak akan menghasilkan apa-apa.
Usury muncul akibat proses peminjaman dan bukan akibat jual
beli, dengan kata lain tambahan dari harga pokok dalam jual beli bukanlah usury
atau interest, tetapi laba atau keuntungan.
F. Macam –Macam Bunga Bank
Menurut
Lipsey, Ragan, dan Courant (1997 : 99-100) suku bunga dapat dibedakan menjadi
dua macam yaitu suku bunga nominal dan suku bunga riil.
1.
Suku bunga nominal
Suku
bunga nominal adalah suku bunga yang biasa kita lihat bank atau media cetak.
Misalnya perusahaan meminjam uang dari bank sebesar $100.000 selama setahun
pada suku bunga nominal 10%, maka pada akhir tahun perusahaan harus
mengembalikan pinjaman tersebut sebesar $110.000 (yaitu $100.000 x 10%).
Suku
bunga nominal cenderung naik seiring dengan angka inflasi. Jika, misalnya, bank
memberlakukan suku bunga 10% pada ekspektasi inflasi selama satu tahun ke depan
adalah 0%, maka bank mungkin akan memberlakukan suku bunga 13% jika ekspektasi
inflasinya adalah 3%.
Pada
suku bunga nominal menjelaskan bahwa jumlah uang yang dibayarkan harus sesuai
dengan jumlah uang yang dipinjamnya.
2.
Suku bunga rill
Suku
Bunga Riil adalah suku bunga setelah dikurangi dengan inflasi, (atau suku bunga
riil = suku bunga nominal – ekspektasi inflasi). Misalnya pada contoh diatas
inflasi yang diantisipasi adalah sebesar 3% dan suku bunga nominal naik menjadi
13%, maka suku bunga riil sebenarnya tidak berubah (yaitu 13% – 3%).
Suku
bunga riil sangat penting dipertimbangkan. Bagi orang yang menabung uang di
bank, misalnya, dengan tingkat suku bunga 5% dan inflasi tahun tersebut
ternyata sebesar 4%, maka suku bunga riil yang ia peroleh hanyalah sebesar 1%.
Hal ini dikarenakan inflasi yang terjadi selama ia menabung uang telah
mengurangi nilai keuntungan (bunga) yang diperoleh.
Sementara
bagi orang yang meminjam uang dari bank, jika suku bunga pinjaman sebesar 12%
dan tingkat inflasi sebesar 5%, maka suku bunga riil yang harus dibayar
hanyalah 8%. Ini dikarenakan harga barang dan jasa (termasuk pendapatan si peminjam)
rata-rata naik sebesar 5%, sehingga biaya atas pinjaman (cost of capital) hanya
tinggal 8%.
pada
suku bunga riil menjelaskan bahwa selisih antara suku bunga nominal dengan laju
invlasi, dimana suku bunga riil lebih menekankan pada rasio daya beli uang yang
dibayarkan kembali terhadap daya beli uang yang dipinjam.
G. Perbedaan bunga dan riba menurut kalangan pro bunga bank
1. Bunga bank itu halal (bukan riba). Alasannya jika bunga bank itu diharamkan
seperti riba, maka pasti sudah tertanam rasa kebencian dalam hati orang muslim
yang baik-baik. Sebagaimana Firman Allah yang artinya “ Allah menanamkan rasa
kebencian di dalam hati kaum terhadap kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan.” [QS. Al-Hujurat 49 : 7]
a. Sedangkan kebencian terhadap bunga bank itu tidak
terwujud. Dengan demikian, maka bunga bank itu tidak haram (bukan riba).
2. Jika bunga bank itu termasuk riba, maka pasti sudah dimusnahkan. Karena
Allah sudah menentukan bahwa Allah akan memusnahkan peraktek riba setelah 40
tahun.
a. Sebagaimana firman Allah yang artinya : “ Allah akan
memusnahkan riba dan menyuburkan shodaqoh.” [QS. Al-Baqoroh 2 : 276]
b. Dan firman Allah yang artinya : “Jika kamu tidak
melakukan yaitu tidak meninggalkan sisa-sisa riba, maka ketahuilah bahwa Allah
dan Rasul-Nya memeranginya.” [QS. Al-Baqoroh 2 : 279]
c. Sedangkan realitas yang terjadi ternyata musnahnya
bunga bank itu tidak terwujud. Dengan demikian, bunga bank itu tidak haram
(bukan riba)
3. Realitas orang Muslim yang baik-baik memandang baik terhadap bunga bank,
sehingga 97 % pengusaha Muslim berhubungan dengan bank Konvensional. Apabila
ada sesuatu yang dipandang baik oleh orang Muslim yang baik-baik, maka itu
artinya baik pula menurut pandangan Allah. Sebagaimana sabda Rasul Saw. Yang
artinya : “ Sesuatu yang dianggap baik oleh orang Muslim yang baik-baik, maka
menurut Allah pun baik.” Dengan demikian, bunga bank itu tidak haram (bukan
riba).
4. Jika bunga bank itu riba, maka pasti pelakunya sudah dijauhkan dari Allah
(sudah tidak melakukan sholat)
a. karena Rasul Saw. bersabda yang artinya : “Rasul Allah
menjauhkan (melaknat) semua pelaku riba baik yang membelanjakannya,
mewakilinya, menyaksikannya dan penulisnya dari rahmat Allah Swt.”
b. Akan tetapi
terlaknatnya pelaku bunga bank konvensional itu tidak terwujud, mereka
melakukan sholat, puasa, haji dll. Yang diridoi oleh Allah Swt. Dengan
demikian, bunga bank konvensional itu tidak haram (bukan riba).
5. Tahun lalu, tepatnya 27 Ramadhan 1423 H/2 Desember 2002 M, Majma al-Buhust
al-Islamiyah salah satu badan tertinggi al-Azhar, mengadakan rapat membahas
soal bank konvensional yang dipimpin oleh Syekh Al-Azhar. Forum itu memutuskan
:
a."Mereka yang bertransaksi dengan atau bank-bank
konvensional dan menyerahkan harta dan tabungan mereka kepada bank agar menjadi
wakil mereka dalam menginvestasikannya dalam berbagai kegiatan yang dibenarkan,
dengan imbalan keuntungan yang diberikan kepada mereka serta ditetapkan
terlebih dahulu pada waktu-waktu yang disepakati bersama orang-orang yang
bertransaksi dengannya atas harta-harta itu, maka transaksi dalam bentuk ini
adalah halal tanpa syubhat (kesamaran), karena tidak ada teks keagamaan di
dalam Alquran atau dari Sunnah Nabi yang melarang transaksi di mana ditetapkan
keuntungan atau bunga terlebih dahulu, selama kedua belah pihak rela dengan
bentuk transaksi tersebut."
b. Allah berfirman: "Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan yang batil. Tetapi
(hendaklah) dengan perniagaan yang berdasar kerelaan di antara kamu. (QS.
an-Nisa': 29).
c. Kesimpulannya, penetapan keuntungan terlebih dahulu
bagi mereka yang menginvestasikan harta mereka melalui bank-bank atau selain
bank adalah halal dan tanpa syubhat dalam transaksi itu
d. Ini termasuk dalam persoalan "Al-Mashalih
Al-Mursalah", bukannya termasuk persoalan aqidah atau ibadat-ibadat yang
tidak boleh dilakukan atas perubahan atau penggantian.
H. Persamaan bunga dengan riba secara
logis
Terdapat banyak kesamaan yang penulis dapat
gambarkan dalam tabel di bawah ini:
RIBA
BUNGA
a. tambahan terhadap
harta pokok yang dikenakan kepada peminjam uang
a. system yang
digunakan untuk mengambil kemanfaatan
atas menabung dan meminjam uang
b. tambahan
yang diterapkan menyengsarakan si peminjam, menimbulkan rasa pongoh dan malas
berusaha karena tinggal menunggu tambahan terhadap harta pokok
b.
menyusahkan sekaligus menyengsarakan si peminjam apabila tidak mampu
mengembalikan pinjaman maka harta sebagai jaminan diambil
c. selalu
menguntungkan orang yang memungut riba
c. selalu
menguntungkan kepada yang menerapkan sistem bunga, nasabah ketika menabung
dan bank ketika meminjamkan uang ke nasabah
d. alasan
dikenakannya tambahan terhadap harta pokok adalah keinginan pemungut riba
yang menunda memakai uang untuk terlebih dahulu meminjamkan uangnya kepada si
debitur
d. alasan
dikenakan bunga karena, penggunaan modal dapat meningkatkan produktifitas
sehingga menaikan pendapat, dan juga adanya waktu yang direlakan dari
kreditur untuk menunggu keinginannya sendiri menggunakan modal yang
dipinjamkannya ke debitur
e. jumlah
tambahan riba selalu sama
e. pembagian
bunga selalu tetap sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi
sedang “booming”
f. riba
dikecam oleh semua agama baik islam, nasrani dan yahudi
f. islam
melarang keras praktek bunga, begitu juga dengan pendeta masa awal kristen
dan para filsuf dari yunani
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Baik bunga dan riba menurut pengamatan kami memiliki banyak persamaan
sehingga wajar sekali dimasa saat ini penolakan penerapan riba di kalangan
cendikiawan muslim amat genjar dikumandangkan.
Salah satu persamaannya adalah tambahan terhadap harta pokok pinjaman yang
dikenakan kepada debitur, selain itu bunga dan riba diambil karena memiliki
alasan yang sama yaitu adanya permintaan kompensasi oleh kreditur terhadap
debitur karena ada waktu yang direlakan oleh kreditur untuk menerima kembali
uang yang dipinjamkannya dan juga adanya kesempatan yang kreditur tidak gunakan
karena uangnya dipinjamkan untuk debitur.
Dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist masalah riba dilarang dengan tegas lewat
beberapa ayat yang diturunkan secara bertahap ini menegaskan permasalah masalah
riba merupakan masalah akut yang sudah mengakar di bangsa arab, yahudi saat itu
sehingga Allah perlu melarang riba dengan mengeluarkan firmanya secara
bertahap.
Dari Al-Hadist Rasullah saw hingga akhir hayatnya sangat memperhatikan
permasalahan riba, dia tidak menginginkan umatnya terjerumus dengan praktek
riba sehingga dia menekankan dengan keras akan ada siksa yang sangat pedih
terhadap pemungut, pencatat dan yang menerima riba.
Sehendaknya praktek riba tidak ada lagi dimuka bumi ini karena memiliki
sifat yang haram, menghancurkan dan buruk sekali. Praktek bunga sebenarnya
sudah bisa digantikan dengan praktek bagi hasil yang sudah jelas dan nyata
diterapkan pada masa Rasullah saw hidup, dengan demikian tinggal kita saja
masyarakat islam bagaimana bisa menerapkan konsep bagi hasil dalam kehidupan
sehari-hari khusunya pada praktek ekonomi perbankan.
B. Saran
Daftar Pustaka
Antonio, M. Syafii. 2001. Bank Syariah dari
Teori ke Praktek. Jakarta: Tazkia Cendikia
Usman, Rachmadi. 2009. Produk dan Akad
Perbankan Syariah di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bhakti
Karim, Adirwan A. 2006. Ekonomi Makro
Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Salman, Kautsar Riza. 2012. Akuntansi
Perbankan Syariah Berbasis PSAK Syariah. Jakarta: Academia Permata
[1] Anwar Iqbal Quresyi, islam and the theory
of interest (lahore : SH. Muhammad Ashraf, 1991)
[2] Umdatul Qari (constantinople: Mathba’a
al-Amira. 1310 H), vol. V, hlm. 436.
[3] Al-Mabsut, Vol. XII, hlm. 100.
[4] Lihat tafsir al-Qurthubi (4/200) dan tafsir
ath-Thabari (7/200)
[5] Lihat tafsir al-Qurthubi (4/200) dan
tafsir ath-Thabari (7/204)
[6] Tahdzib at-Thadzib (2/103-104)
[7] Ibnu-Qayyim al-Jauziyyah. I’lam
al-Muwaqqiin (2/132)

KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh...
Puji dan syukur kami panjatkan kepada
Allah SWT, Tuhan semesta alam. Rahmat dan keselamatan semoga senantiasa
dilimpahkan Allah Kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya, serta
para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman. Dan tak lupa penulis bersyukur
atas tersusunnya makalah ini.
Sebelumnya kami ucapkan banyak terima
kasih kepada M. Riza Fahmi.,
MA selaku dosen
pengampu yang telah memberikan kami kesempatan untuk membahas Makalah ini.
Tujuan kami menyusun makalah ini
adalah tiada lain untuk memperkaya ilmu pengetahuan kita semua dan untuk
memenuhi tugas mata kuliah Fiqh
Perbankan Syariah.
Dalam penulisan makalah ini kami juga
mengalami banyak kesulitan, terutama disebabkan oleh kurangnya ilmu yang kami miliki. Namun, berkat bimbingan dan
bantuan dari berbagai pihak akhirnya makalah ini dapat terselesaikan. Untuk itu
kami mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang terkait. Kami berharap
agar makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca dan pihak-pihak yang
membutuhkan untuk dijadikan literatur. Apabila dalam penulisan makalah ini
terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, kami mohon maaf yang
sebesar-besarnya.
Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh...
Pontianak, 16
April 2016
Daftar Isi
Kata Pengantar............................................................................................................... ii
Daftar Isi......................................................................................................................... iii
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah......................................................................................... 2
C. Tujuan Penelitian........................................................................................... 2
Bab II Pembahasan
A.
Definisi Riba................................................................................................ 3-5
B.
Jenis – jenis
riba........................................................................................... 5-6
C.
Jenis Barang
Ribawi ................................................................................... 6-7
D.
Pelarangan
riba dalam nash Al-Qur’an dan Al-Hadist................................ 7-11
E.
Definisi Bunga............................................................................................. 11
F.
Macam – macam
bunga bank....................................................................... 12-13
G.
Persamaan riba
dengan bunga...................................................................... 13-14
H.
Perbedaan riba
dengan bunga...................................................................... 15
Bab III Penutup
A.
Kesimpulan.................................................................................................. 16
B.
Saran............................................................................................................ 16
Daftar Pustaka...........................................................................................................
17
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi riba
Riba secara bahasa bermakna: ziyadah
(tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistic, riba juga berarti tumbuh
dan membesar.[1]
Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta
pokok atau modal secara batil[2].
Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namuun secara umum terdapat
benang merah yang menegaskan bahwa iba adalah pengambian tambahan, baik dalam
transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan
dengan prinsip muamalah dalam islam.
Mengenai hal ini, Allah SWT berfirman mengingatkan dalam
firman-Nya,
“hai orang-orang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil . . . . . .”
(an-Nisa : 29)
Dalam kaitannya dengan pengertian
al-bathil dalam ayat tersebut, ibnu al-Arabi al-Maliki dalam kitabnya, ahkam Al-Quran, menjelaskan,
“pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba
dalam ayat Al-Quran yaitu tambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi
pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah.”
Yang
dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis
atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil,
seperti transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek. Dalam
transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang
dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan si
penyewa. Mobil misalnya, sesudah dipakai maka nilai ekonomisnya pasti menurun
jika dibandingkan
dengan sebelumnya. Dalam hal jual beli, si pembeli membayar harga atas
imbalan barang yang diterimanya. Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para
peserta perkongsian berhak mendapatkan keuntungan karena disamping menyertakan
modal juga turut serta menanggung kemungkinan resiko kerugian yang bisa saja
muncul setiap saat.
Dalam transaksi simpan-pinjam dana, secara konvensional, si pemberi
pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang
yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan
selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil di sini adalah si peminjam
diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti untung
dalam penggunaan kesempatan tersebut.[1]
Demikian juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya hanya dengan
faktor waktu semata tanpa ada faktor orang yang menjalankannya dan
mengusahakannya. Bahkan, ketika orang tersebut mengusahakannya bisa juga untung
bisa juga rugi.
Pengertian senada disampaikan oleh jumhur
ulama sepanjang sejarah islam dari berbagai mazhab Fiqhiyyah. Diantaranya
sebagai berikut:
1. Badr ad-Din al-Ayni, pengarang Umdatul Qari Syarah Shahih al-Bukhari
“prinsip utama dalam riba adalah penambahan.
Menurut syariah, riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya
transaksi bisnis.[2]
2. Imam sarakhsi dari mazhab Hanafi
“riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam
transaksi bisnis, tanpa adanya iwadh (atau padanan) yang dibenarkan syariah
atas penambahan tersebut.[3]
3. Raghib al-Asfahani
“riba adalah penambahan atas harta pokok”
4. Imam an-Nahrawi dari Mazhab Syafi’i
Dari penjelasan imam Nawawi di atas sangat
jelas bahwa salah satu bentuk riba yang dilarang dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah
adalah penambahan atas harta pokok karena unsur waktu. Dalam dunia perbankan,
hal tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuai lama waktu pinjaman.
5. Qatadah
“riba jahiliah adalah seseorang yang menjual
barangnya secara tempo hingga waktu tertentu. Apabila telah datang saat
pembayaran dan si pembeli tidak mampu membayar, ia memberikan bayaran tambahan
atas penangguhan.”
6. Zaid bin Aslam
“yang dimaksud dengan riba jahiliah yang
berimplikasi pelipatgandaan sejalan dengan waktu adalah seseorang yang memiliki
piutang atas mitranyya pada saat jatuh tempo, ia berkata “bayar sekarang atau
tambah”.[4]
7. Mujahid
“mereka menjual dagangnnya dengan tempo.
Apabila telah jatuh tempo dan (tidak mampu bayar), si pembeli memberian
tambahan atas “tambahan waktu”.[5]
8. Ja’far ash-Shadiq dari kalangan Syi’ah
Ja’far ash-Shadiq berkata ketika ditanya mengapa Allah SWT mengharamkan riba,
“supaya orang tidak berhenti berbuat kebajikan. Hal ini karena ketika
diperkanankan untuk mengambil bunga atas pinjaman, seseorang tidak berbuat
makruf lagi atas transaksi pinjam-meminjam dan sejenisnya, padahal qard
bertujuan untuk menjalin hubungan yang erat dan kebajikan antarmanusia.[6]
9.
Imam
Ahmad bin Hanbal, Pendiri Mazhab Hanabali
Ketika Imam Ahmad bin Hanbal ditanya tentang
riba, ia menjawab, “sesungguhnya riba itu ada seseorang memiliki utang maka
dikatakan kepadanya apakah akan melunasi utang atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk
bunga pinjam) atas penambahan waktu yang diberikan.[7]
B. Jenis-jenis riba
Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah
riba utang-piutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi
riba qardh dan riba jahiliyyah. Adapun kelompok kedua, riba jual beli, terbagi
menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah.
1. Riba qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu
yang disyaratkan terhadap hutang berhutang (muqtaridh).
2. Riba jahiliyyah
Utang dibayar lebih dari pokoknya karena si
peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
3. Riba fadhl
Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar
atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk
dalam jenis barang ribawi.
4. Riba Nasi’ah
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis
barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam
nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang
diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.
Mengenai pembagian dan jenis-jenis riba,
berkata Ibnu Hajar al-Haitsami,
“riba itu terdiri dari tiga jenis, riba fadhl,
riba al-yaad, dan riba an-nasi’ah. Al-mutawally menambahkan jenis keempat yaitu
riba al-qardh. Beliau juga menyatakan bahwa semua jenis ini diharamkan secara
ijma berdasarkan nash al-Qur’an dan hadist Nabi.
C. Jenis barang ribawi
Para ahli fiqh islam telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi
dengan panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan ini kan
disampaikan kesimpulan umum dari pendapat mereka yang intinya bahwa barang
ribawi meliputi:
1. Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya;
2. Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan jagung serta bahan makanan
tambahan, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
Dalam kaitanya perbankan syariah, implikasi ketentuan tukar-menukar antar
barang-barang ribawi dapat diuraikan sebagai berikut.
Jual
beli antara barang-barang ribawi sejenis hendaklah dalam jumlah dan kadar yang
sama. Barang tersebut pun harus diserahkan saat transaksi jual beli. Misalnya
rupiah
1. dengan rupiah hendaklah Rp 5.000,00 dengan Rp 5.000,00 dan diserahkan
ketika tukar-menukar.
2. Jual beli barang-barang ribawi yang berlainan jenis diperbolehkan dengan
jumlah dana dan kadar yang berbeda dengan syarat barang diserahkan pada saat
akad jual beli. Misalnya, Rp 5.000,00 dengan 1 dollar amerika.
3. Jual beli barang ribawi dengan yang bukan ribawi tidak disyaratkan untuk
sama dalam jumlah maupun untuk diserahkan pada akad. Misalnya, mata uang (emas,
perak, atau kertas) dengan pakaian.
4. Jual beli barang-barang yang bukan ribawi diperbolehkan tanpa adanya
persamaan dan diserahkan pada waktu akad, misalnya pakaian dengan barang
elektronik.
D. Larangan riba dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah
Umat islam dilarang mengambil riba apa pun jenisnya. Larangan supaya umat
islam tidak melibatkan diri dengan riba bersumber dari berbagai surah dalam al-Qur’an
dan hadist Rasullah saw.
1. Larangan riba dalam Al-Qur’an
Larangan riba dalam al-Qur’an tidak diturunkan
sekaligus melainkan diturunkan dalam empat tahap.[1]
Tahap pertama menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang
pada satu zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu
perbuatan mendekati atau taqqarub kepada Allah SWT.
“Dan, sesuatu riba (tambahan) yang kamu
berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak bertambah
pada sisi Allah. Dan, siapa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan
untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang
yang melipatgandakan (pahalanya).” (ar-Ruum: 39)
Tahap kedua riba digambarkan sebagai sesuatu
yang buruk. Allah SWT mengancam akan memberi balasan yang keras kepada yahudi
yang memakan riba.
“maka, disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami
haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya)
dihalalkan bagi mereka, dan karena banyak menghalangi manusia dari jalan Allah,
dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang
darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami
telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang
pedih.” (an-Nisa’: 160-161)
Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan
kepada suatu tambahan yang berlipat yang berlipatganda. Para ahli tafsir
berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan
fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut. Allah berfirman,
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya
kamu mendapat keberuntungan.” (Ali Imran: 130)
Ayat ini turun pada tahun ke-3 Hijriah. Secara
umum ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat ganda bukanlah merupakan
syarat terjadinya riba (jikalau bunga berlipat ganda maka riba, tetapi jikalau
kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari praktik pembungaan uang
pada saat itu.
Demikian juga ayat ini harus dipahami secara
komprehensif dengat ayat 278-279 dari surah al-Baqarah yang turun pada tahun
ke-9 Hijriah (keterangan lebih lanjut, lihat pembahasan “Alasan pembenaran
pengembalian riba”, poin “Berlipat Ganda”)
Tahap terakhir, Allah SWT dengan jelas dan tegas
mengharamkan apa pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat
terakhir yang diturunkan menyangkut riba.
“Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang
yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka
ketahuliah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan, jika kamu bertobat
(dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiya dan
tidak pula dianiya.” (al-Baqarah: 278-279).
2.
Larangan
riba dalam As-Sunnah
Pelarangan riba dalam islam tidak hanya
merujuk pada Al-Qur’an, melainkan juga dalam Al-Hadist. Hal ini sebagaimana
posisi umum hadist yang berfungsi untuk menjelaskan lebih lanjut aturan yang
telah digariskan melalui Al-Qur’an, pelarangan riba dalam hadist lebih terinci.
Dalam amanat terakhirnya pada tanggal 9
Dzhulihajjah tahun 10 Hijriah, Rasullah saw masih menekankan sikap islam yang
melarang riba.
“ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu dan Dia pasti
akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba. Oleh karena
itu, utang akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak
kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan. Selain itu
masih banyak lagi hadist yang menguraikan masalah riba. Diantaranya:
Diriwayatkan oleh Aun bin Abi Juhaifa, “Ayahku
membeliseorang budak yang pekerjaannya membekam (mengularkan darah kotor dari
kepala) Ayahku kemudian memusnahkan peralatan bekam si budak tersebut. Aku
bertanya kepada ayah mengapa beliau melakukannya. Ayahku menjawab bahwa
Rasullah saw melarang untuk menerima uang dari transaksi darah, anjing dan
kasab budak perempuan. Beliau juga melaknat pekerjaan penato dan yang minta
ditato, menerima dan memberi riba serta beliau melaknat para pembuat gambar.”
(HR. Bukhari no. 2084 kita al-Bayu)
Diriwiyatkan oleh Abu Said al-Khudri bahwa
pada suatu ketika Bilal membawa barni (sejenis kurma berkualitas baik) ke
hadapan Rasullah saw dan beliau bertanya kepadanya, “Dari mana engkau
mendapatkannya?” Bilal menjawab, “saya mempunyai sejumlah kurma dari jenis yang
rendah mutunya dan menukarkannya dua sha’ kurma jenis barni untuk dimakan oleh
Rasullah saw.. “selepas itu Rasullah saw terus berkata, “Hati-hati! Hati-hati!
Ini sesungguhnya riba, ini sesungguhnya riba. Jangan berbuat begini, tetapi
jika kamu membeli (kurma yang mutunya lebih tinggi), jualah kurma yang mutunya
rendah untuk mendapatkan uang dan kemudian gunakanlah uang tersebut untuk
membeli kurma yang bermutu tinggi itu.” (HR Bukhari no. 2145, kitab al-Wakalah)
Diriwiyatkan oleh Abdurrahman bin Abu Bakar
bahwa ayahnya berkata “Rasullah saw melarang penjualan emas dengan emas dan
perak dengan perak kecuali sama beratnya, dan membolehkan kita menjual emas
dengan perak begitu sebaliknya sesuai dengan keinginan kita.” (HR Bukhari no.
2034, kitab al-Buyu)
Diriwiyatkan oleh Abu Said al-Khudri bahwa
Rasullah saw, bersabda “Emas hendaknya dibayar dengan emas, perak dengan perak,
gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan
garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash). Barangsiapa memberi
tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan dengan riba, penerima dan pemberi
sama bersalah.” (HR Muslim no. 2971, dalam kitab al-Mussaqah)
Diriwiyatkan oleh samurah bin Jundub bahwa
Rasullah saw bersabda “malam tadi aku bermimpi, telah datang dua orang dan
membawaku ke Tanah suci. Dalam perjalanan, sampailah kami ke suatu sungai
darah, di mana di dalamnya berdiri seorang laki-laki. Di pinggir sungai
tersebut berdiri seorang laki-laki lain dengan batu di tangannya, laki-laki
yang di tengah sungai itu berusaha untuk keluar, tetapi laki-laki yang
dipinggir sungai tadi melempari mulutnya dengan batu dan memaksanya kembali ke
tempat asal. Aku bertanya “siapakah itu?” Aku diberitahu bahwa laki-laki yang
di tengah sungai itu ialah orang yang memakan riba.” (HR Bukhari no. 6525,
kitab at-Ta’bir)
Jabir berkata bahwa Rasullah saw mengutuk
orang yang menerima riba, orang yang membayarnya dan orang yang mencatatnya,
dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda “Mereka itu semuanya sama.”
(HR Muslim no. 2995, kitab al-Musaqqah)
Diriwiyatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasullah
saw berkata “pada malam perjalan mi’raj, aku melihat orang-orang yang perut
mereka seperti rumah, di dalamnya dipenuhi oleh ular-ular yang kelihatan dari
luar. Aku bertanya kepada jibril siapakah mereka itu? Jibril menjawab bahwa
mereka adalah orang-orang yang memakan riba.”
Al-Hakim meriwiyatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa
Nabi saw bersabda “Riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan) yang paling rendah
(dosanya) sama dengan seseorang yang melakukan zina dengan ibunya”.
Diriwiyatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasullah
saw bersabda “Tuhan sesungguhnya berlaku adil karena tidak membenarkan empat
golongan masuk surga atau tidak mendapat petunjuk dari-Nya. (mereka itu adalah,
Peminum arak, pemakan riba, pemakan harta anak yatim, dan mereka yang tidak
bertanggung jawab/menelantarkan ibu-bapaknya.”
E. Definisi Bunga
Bunga (interest)
dapat dimengerti sebagai uang yang dibayarkan/diterima atas penggunaan sejumlah
pinjaman atau sejumlah uang yang disimpan. Dalam pengertian yang lebih luas
bunga dapat dianggap sebagai uang yang diperoleh dari investasi sejumlah modal
tertentu.
Menurut bahasa atau
bunga adalah uang yang dikenakan atau dibayar atas penggunaan uang.
Definisi interest menurut Samuel
G. Kling, dalam The Legal Encylopedia for Home and Business, 1960, 246
(IBI,36), “Interest is compensation for the use of money which due.”
Menurut Oxford English
Dictionary, 1989, 109 (IBI, 37) mendefinisikan,“Interest is money paid for
the use of money lent (the principal), or for forbearance of a debt, according
to a fixed ratio (rafe per cent)”.
Usury didefinisikan dalam Oxford
English Dictionary, 1989,365 (IBI,37) adalah “The fact or practice of
lending money at interest, especially in later use, the practice of charging,
taking or contracting to receive, exessive or illegal rate of interest for
money on loan.”
Menurut Cardinal de Lugo (1593-1623), mendefinisikan, “Usury
is gain immediately arising as an obligation from a loan of mutuum if gain
doesn not arise from mutuum but from purchase and sale, however unjust, it is
not usury, and likewese if it is not paid as an obligation due but from
goodwill, gratitude, or friendship, it is not usury”.
Dari beberapa definisi tersebut
dapat disimpulkan bahwa interest dan usury merupakan dua konsep yang serupa,
yaitu keuntungan yang diharapkan oleh pemberi pinjaman atas peminjaman uang
atau barang (mutuum), yang sebenarnya barang atau uang tersebut apabila tidak
ada unsur tenaga kerja tidak akan menghasilkan apa-apa.
Usury muncul akibat proses peminjaman dan bukan akibat jual
beli, dengan kata lain tambahan dari harga pokok dalam jual beli bukanlah usury
atau interest, tetapi laba atau keuntungan.
F. Macam –Macam Bunga Bank
Menurut
Lipsey, Ragan, dan Courant (1997 : 99-100) suku bunga dapat dibedakan menjadi
dua macam yaitu suku bunga nominal dan suku bunga riil.
1.
Suku bunga nominal
Suku
bunga nominal adalah suku bunga yang biasa kita lihat bank atau media cetak.
Misalnya perusahaan meminjam uang dari bank sebesar $100.000 selama setahun
pada suku bunga nominal 10%, maka pada akhir tahun perusahaan harus
mengembalikan pinjaman tersebut sebesar $110.000 (yaitu $100.000 x 10%).
Suku
bunga nominal cenderung naik seiring dengan angka inflasi. Jika, misalnya, bank
memberlakukan suku bunga 10% pada ekspektasi inflasi selama satu tahun ke depan
adalah 0%, maka bank mungkin akan memberlakukan suku bunga 13% jika ekspektasi
inflasinya adalah 3%.
Pada
suku bunga nominal menjelaskan bahwa jumlah uang yang dibayarkan harus sesuai
dengan jumlah uang yang dipinjamnya.
2.
Suku bunga rill
Suku
Bunga Riil adalah suku bunga setelah dikurangi dengan inflasi, (atau suku bunga
riil = suku bunga nominal – ekspektasi inflasi). Misalnya pada contoh diatas
inflasi yang diantisipasi adalah sebesar 3% dan suku bunga nominal naik menjadi
13%, maka suku bunga riil sebenarnya tidak berubah (yaitu 13% – 3%).
Suku
bunga riil sangat penting dipertimbangkan. Bagi orang yang menabung uang di
bank, misalnya, dengan tingkat suku bunga 5% dan inflasi tahun tersebut
ternyata sebesar 4%, maka suku bunga riil yang ia peroleh hanyalah sebesar 1%.
Hal ini dikarenakan inflasi yang terjadi selama ia menabung uang telah
mengurangi nilai keuntungan (bunga) yang diperoleh.
Sementara
bagi orang yang meminjam uang dari bank, jika suku bunga pinjaman sebesar 12%
dan tingkat inflasi sebesar 5%, maka suku bunga riil yang harus dibayar
hanyalah 8%. Ini dikarenakan harga barang dan jasa (termasuk pendapatan si peminjam)
rata-rata naik sebesar 5%, sehingga biaya atas pinjaman (cost of capital) hanya
tinggal 8%.
pada
suku bunga riil menjelaskan bahwa selisih antara suku bunga nominal dengan laju
invlasi, dimana suku bunga riil lebih menekankan pada rasio daya beli uang yang
dibayarkan kembali terhadap daya beli uang yang dipinjam.
G. Perbedaan bunga dan riba menurut kalangan pro bunga bank
1. Bunga bank itu halal (bukan riba). Alasannya jika bunga bank itu diharamkan
seperti riba, maka pasti sudah tertanam rasa kebencian dalam hati orang muslim
yang baik-baik. Sebagaimana Firman Allah yang artinya “ Allah menanamkan rasa
kebencian di dalam hati kaum terhadap kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan.” [QS. Al-Hujurat 49 : 7]
a. Sedangkan kebencian terhadap bunga bank itu tidak
terwujud. Dengan demikian, maka bunga bank itu tidak haram (bukan riba).
2. Jika bunga bank itu termasuk riba, maka pasti sudah dimusnahkan. Karena
Allah sudah menentukan bahwa Allah akan memusnahkan peraktek riba setelah 40
tahun.
a. Sebagaimana firman Allah yang artinya : “ Allah akan
memusnahkan riba dan menyuburkan shodaqoh.” [QS. Al-Baqoroh 2 : 276]
b. Dan firman Allah yang artinya : “Jika kamu tidak
melakukan yaitu tidak meninggalkan sisa-sisa riba, maka ketahuilah bahwa Allah
dan Rasul-Nya memeranginya.” [QS. Al-Baqoroh 2 : 279]
c. Sedangkan realitas yang terjadi ternyata musnahnya
bunga bank itu tidak terwujud. Dengan demikian, bunga bank itu tidak haram
(bukan riba)
3. Realitas orang Muslim yang baik-baik memandang baik terhadap bunga bank,
sehingga 97 % pengusaha Muslim berhubungan dengan bank Konvensional. Apabila
ada sesuatu yang dipandang baik oleh orang Muslim yang baik-baik, maka itu
artinya baik pula menurut pandangan Allah. Sebagaimana sabda Rasul Saw. Yang
artinya : “ Sesuatu yang dianggap baik oleh orang Muslim yang baik-baik, maka
menurut Allah pun baik.” Dengan demikian, bunga bank itu tidak haram (bukan
riba).
4. Jika bunga bank itu riba, maka pasti pelakunya sudah dijauhkan dari Allah
(sudah tidak melakukan sholat)
a. karena Rasul Saw. bersabda yang artinya : “Rasul Allah
menjauhkan (melaknat) semua pelaku riba baik yang membelanjakannya,
mewakilinya, menyaksikannya dan penulisnya dari rahmat Allah Swt.”
b. Akan tetapi
terlaknatnya pelaku bunga bank konvensional itu tidak terwujud, mereka
melakukan sholat, puasa, haji dll. Yang diridoi oleh Allah Swt. Dengan
demikian, bunga bank konvensional itu tidak haram (bukan riba).
5. Tahun lalu, tepatnya 27 Ramadhan 1423 H/2 Desember 2002 M, Majma al-Buhust
al-Islamiyah salah satu badan tertinggi al-Azhar, mengadakan rapat membahas
soal bank konvensional yang dipimpin oleh Syekh Al-Azhar. Forum itu memutuskan
:
a."Mereka yang bertransaksi dengan atau bank-bank
konvensional dan menyerahkan harta dan tabungan mereka kepada bank agar menjadi
wakil mereka dalam menginvestasikannya dalam berbagai kegiatan yang dibenarkan,
dengan imbalan keuntungan yang diberikan kepada mereka serta ditetapkan
terlebih dahulu pada waktu-waktu yang disepakati bersama orang-orang yang
bertransaksi dengannya atas harta-harta itu, maka transaksi dalam bentuk ini
adalah halal tanpa syubhat (kesamaran), karena tidak ada teks keagamaan di
dalam Alquran atau dari Sunnah Nabi yang melarang transaksi di mana ditetapkan
keuntungan atau bunga terlebih dahulu, selama kedua belah pihak rela dengan
bentuk transaksi tersebut."
b. Allah berfirman: "Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan yang batil. Tetapi
(hendaklah) dengan perniagaan yang berdasar kerelaan di antara kamu. (QS.
an-Nisa': 29).
c. Kesimpulannya, penetapan keuntungan terlebih dahulu
bagi mereka yang menginvestasikan harta mereka melalui bank-bank atau selain
bank adalah halal dan tanpa syubhat dalam transaksi itu
d. Ini termasuk dalam persoalan "Al-Mashalih
Al-Mursalah", bukannya termasuk persoalan aqidah atau ibadat-ibadat yang
tidak boleh dilakukan atas perubahan atau penggantian.
H. Persamaan bunga dengan riba secara
logis
Terdapat banyak kesamaan yang penulis dapat
gambarkan dalam tabel di bawah ini:
RIBA
BUNGA
a. tambahan terhadap
harta pokok yang dikenakan kepada peminjam uang
a. system yang
digunakan untuk mengambil kemanfaatan
atas menabung dan meminjam uang
b. tambahan
yang diterapkan menyengsarakan si peminjam, menimbulkan rasa pongoh dan malas
berusaha karena tinggal menunggu tambahan terhadap harta pokok
b.
menyusahkan sekaligus menyengsarakan si peminjam apabila tidak mampu
mengembalikan pinjaman maka harta sebagai jaminan diambil
c. selalu
menguntungkan orang yang memungut riba
c. selalu
menguntungkan kepada yang menerapkan sistem bunga, nasabah ketika menabung
dan bank ketika meminjamkan uang ke nasabah
d. alasan
dikenakannya tambahan terhadap harta pokok adalah keinginan pemungut riba
yang menunda memakai uang untuk terlebih dahulu meminjamkan uangnya kepada si
debitur
d. alasan
dikenakan bunga karena, penggunaan modal dapat meningkatkan produktifitas
sehingga menaikan pendapat, dan juga adanya waktu yang direlakan dari
kreditur untuk menunggu keinginannya sendiri menggunakan modal yang
dipinjamkannya ke debitur
e. jumlah
tambahan riba selalu sama
e. pembagian
bunga selalu tetap sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi
sedang “booming”
f. riba
dikecam oleh semua agama baik islam, nasrani dan yahudi
f. islam
melarang keras praktek bunga, begitu juga dengan pendeta masa awal kristen
dan para filsuf dari yunani
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Baik bunga dan riba menurut pengamatan kami memiliki banyak persamaan
sehingga wajar sekali dimasa saat ini penolakan penerapan riba di kalangan
cendikiawan muslim amat genjar dikumandangkan.
Salah satu persamaannya adalah tambahan terhadap harta pokok pinjaman yang
dikenakan kepada debitur, selain itu bunga dan riba diambil karena memiliki
alasan yang sama yaitu adanya permintaan kompensasi oleh kreditur terhadap
debitur karena ada waktu yang direlakan oleh kreditur untuk menerima kembali
uang yang dipinjamkannya dan juga adanya kesempatan yang kreditur tidak gunakan
karena uangnya dipinjamkan untuk debitur.
Dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist masalah riba dilarang dengan tegas lewat
beberapa ayat yang diturunkan secara bertahap ini menegaskan permasalah masalah
riba merupakan masalah akut yang sudah mengakar di bangsa arab, yahudi saat itu
sehingga Allah perlu melarang riba dengan mengeluarkan firmanya secara
bertahap.
Dari Al-Hadist Rasullah saw hingga akhir hayatnya sangat memperhatikan
permasalahan riba, dia tidak menginginkan umatnya terjerumus dengan praktek
riba sehingga dia menekankan dengan keras akan ada siksa yang sangat pedih
terhadap pemungut, pencatat dan yang menerima riba.
Sehendaknya praktek riba tidak ada lagi dimuka bumi ini karena memiliki
sifat yang haram, menghancurkan dan buruk sekali. Praktek bunga sebenarnya
sudah bisa digantikan dengan praktek bagi hasil yang sudah jelas dan nyata
diterapkan pada masa Rasullah saw hidup, dengan demikian tinggal kita saja
masyarakat islam bagaimana bisa menerapkan konsep bagi hasil dalam kehidupan
sehari-hari khusunya pada praktek ekonomi perbankan.
B. Saran
Daftar Pustaka
Antonio, M. Syafii. 2001. Bank Syariah dari
Teori ke Praktek. Jakarta: Tazkia Cendikia
Usman, Rachmadi. 2009. Produk dan Akad
Perbankan Syariah di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bhakti
Karim, Adirwan A. 2006. Ekonomi Makro
Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Salman, Kautsar Riza. 2012. Akuntansi
Perbankan Syariah Berbasis PSAK Syariah. Jakarta: Academia Permata
[1] Anwar Iqbal Quresyi, islam and the theory
of interest (lahore : SH. Muhammad Ashraf, 1991)
[2] Umdatul Qari (constantinople: Mathba’a
al-Amira. 1310 H), vol. V, hlm. 436.
[3] Al-Mabsut, Vol. XII, hlm. 100.
[4] Lihat tafsir al-Qurthubi (4/200) dan tafsir
ath-Thabari (7/200)
[5] Lihat tafsir al-Qurthubi (4/200) dan
tafsir ath-Thabari (7/204)
[6] Tahdzib at-Thadzib (2/103-104)
[7] Ibnu-Qayyim al-Jauziyyah. I’lam
al-Muwaqqiin (2/132)
dengan sebelumnya. Dalam hal jual beli, si pembeli membayar harga atas
imbalan barang yang diterimanya. Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para
peserta perkongsian berhak mendapatkan keuntungan karena disamping menyertakan
modal juga turut serta menanggung kemungkinan resiko kerugian yang bisa saja
muncul setiap saat.
Dalam transaksi simpan-pinjam dana, secara konvensional, si pemberi
pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang
yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan
selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil di sini adalah si peminjam
diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti untung
dalam penggunaan kesempatan tersebut.[1]
Demikian juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya hanya dengan
faktor waktu semata tanpa ada faktor orang yang menjalankannya dan
mengusahakannya. Bahkan, ketika orang tersebut mengusahakannya bisa juga untung
bisa juga rugi.
Pengertian senada disampaikan oleh jumhur
ulama sepanjang sejarah islam dari berbagai mazhab Fiqhiyyah. Diantaranya
sebagai berikut:
1. Badr ad-Din al-Ayni, pengarang Umdatul Qari Syarah Shahih al-Bukhari
“prinsip utama dalam riba adalah penambahan.
Menurut syariah, riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya
transaksi bisnis.[2]
2. Imam sarakhsi dari mazhab Hanafi
“riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam
transaksi bisnis, tanpa adanya iwadh (atau padanan) yang dibenarkan syariah
atas penambahan tersebut.[3]
3. Raghib al-Asfahani
“riba adalah penambahan atas harta pokok”
4. Imam an-Nahrawi dari Mazhab Syafi’i
Dari penjelasan imam Nawawi di atas sangat
jelas bahwa salah satu bentuk riba yang dilarang dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah
adalah penambahan atas harta pokok karena unsur waktu. Dalam dunia perbankan,
hal tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuai lama waktu pinjaman.
5. Qatadah
“riba jahiliah adalah seseorang yang menjual
barangnya secara tempo hingga waktu tertentu. Apabila telah datang saat
pembayaran dan si pembeli tidak mampu membayar, ia memberikan bayaran tambahan
atas penangguhan.”
6. Zaid bin Aslam
“yang dimaksud dengan riba jahiliah yang
berimplikasi pelipatgandaan sejalan dengan waktu adalah seseorang yang memiliki
piutang atas mitranyya pada saat jatuh tempo, ia berkata “bayar sekarang atau
tambah”.[4]
7. Mujahid
“mereka menjual dagangnnya dengan tempo.
Apabila telah jatuh tempo dan (tidak mampu bayar), si pembeli memberian
tambahan atas “tambahan waktu”.[5]
8. Ja’far ash-Shadiq dari kalangan Syi’ah
Ja’far ash-Shadiq berkata ketika ditanya mengapa Allah SWT mengharamkan riba,
“supaya orang tidak berhenti berbuat kebajikan. Hal ini karena ketika
diperkanankan untuk mengambil bunga atas pinjaman, seseorang tidak berbuat
makruf lagi atas transaksi pinjam-meminjam dan sejenisnya, padahal qard
bertujuan untuk menjalin hubungan yang erat dan kebajikan antarmanusia.[6]
9.
Imam
Ahmad bin Hanbal, Pendiri Mazhab Hanabali
Ketika Imam Ahmad bin Hanbal ditanya tentang
riba, ia menjawab, “sesungguhnya riba itu ada seseorang memiliki utang maka
dikatakan kepadanya apakah akan melunasi utang atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk
bunga pinjam) atas penambahan waktu yang diberikan.[7]
B. Jenis-jenis riba
Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah
riba utang-piutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi
riba qardh dan riba jahiliyyah. Adapun kelompok kedua, riba jual beli, terbagi
menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah.
1. Riba qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu
yang disyaratkan terhadap hutang berhutang (muqtaridh).
2. Riba jahiliyyah
Utang dibayar lebih dari pokoknya karena si
peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
3. Riba fadhl
Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar
atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk
dalam jenis barang ribawi.
4. Riba Nasi’ah
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis
barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam
nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang
diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.
Mengenai pembagian dan jenis-jenis riba,
berkata Ibnu Hajar al-Haitsami,
“riba itu terdiri dari tiga jenis, riba fadhl,
riba al-yaad, dan riba an-nasi’ah. Al-mutawally menambahkan jenis keempat yaitu
riba al-qardh. Beliau juga menyatakan bahwa semua jenis ini diharamkan secara
ijma berdasarkan nash al-Qur’an dan hadist Nabi.
C. Jenis barang ribawi
Para ahli fiqh islam telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi
dengan panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan ini kan
disampaikan kesimpulan umum dari pendapat mereka yang intinya bahwa barang
ribawi meliputi:
1. Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya;
2. Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan jagung serta bahan makanan
tambahan, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
Dalam kaitanya perbankan syariah, implikasi ketentuan tukar-menukar antar
barang-barang ribawi dapat diuraikan sebagai berikut.
Jual
beli antara barang-barang ribawi sejenis hendaklah dalam jumlah dan kadar yang
sama. Barang tersebut pun harus diserahkan saat transaksi jual beli. Misalnya
rupiah
1. dengan rupiah hendaklah Rp 5.000,00 dengan Rp 5.000,00 dan diserahkan
ketika tukar-menukar.
2. Jual beli barang-barang ribawi yang berlainan jenis diperbolehkan dengan
jumlah dana dan kadar yang berbeda dengan syarat barang diserahkan pada saat
akad jual beli. Misalnya, Rp 5.000,00 dengan 1 dollar amerika.
3. Jual beli barang ribawi dengan yang bukan ribawi tidak disyaratkan untuk
sama dalam jumlah maupun untuk diserahkan pada akad. Misalnya, mata uang (emas,
perak, atau kertas) dengan pakaian.
4. Jual beli barang-barang yang bukan ribawi diperbolehkan tanpa adanya
persamaan dan diserahkan pada waktu akad, misalnya pakaian dengan barang
elektronik.
D. Larangan riba dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah
Umat islam dilarang mengambil riba apa pun jenisnya. Larangan supaya umat
islam tidak melibatkan diri dengan riba bersumber dari berbagai surah dalam al-Qur’an
dan hadist Rasullah saw.
1. Larangan riba dalam Al-Qur’an
Larangan riba dalam al-Qur’an tidak diturunkan
sekaligus melainkan diturunkan dalam empat tahap.[1]
Tahap pertama menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang
pada satu zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu
perbuatan mendekati atau taqqarub kepada Allah SWT.
“Dan, sesuatu riba (tambahan) yang kamu
berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak bertambah
pada sisi Allah. Dan, siapa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan
untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang
yang melipatgandakan (pahalanya).” (ar-Ruum: 39)
Tahap kedua riba digambarkan sebagai sesuatu
yang buruk. Allah SWT mengancam akan memberi balasan yang keras kepada yahudi
yang memakan riba.
“maka, disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami
haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya)
dihalalkan bagi mereka, dan karena banyak menghalangi manusia dari jalan Allah,
dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang
darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami
telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang
pedih.” (an-Nisa’: 160-161)
Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan
kepada suatu tambahan yang berlipat yang berlipatganda. Para ahli tafsir
berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan
fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut. Allah berfirman,
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya
kamu mendapat keberuntungan.” (Ali Imran: 130)
Ayat ini turun pada tahun ke-3 Hijriah. Secara
umum ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat ganda bukanlah merupakan
syarat terjadinya riba (jikalau bunga berlipat ganda maka riba, tetapi jikalau
kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari praktik pembungaan uang
pada saat itu.
Demikian juga ayat ini harus dipahami secara
komprehensif dengat ayat 278-279 dari surah al-Baqarah yang turun pada tahun
ke-9 Hijriah (keterangan lebih lanjut, lihat pembahasan “Alasan pembenaran
pengembalian riba”, poin “Berlipat Ganda”)
Tahap terakhir, Allah SWT dengan jelas dan tegas
mengharamkan apa pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat
terakhir yang diturunkan menyangkut riba.
“Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang
yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka
ketahuliah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan, jika kamu bertobat
(dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiya dan
tidak pula dianiya.” (al-Baqarah: 278-279).
2.
Larangan
riba dalam As-Sunnah
Pelarangan riba dalam islam tidak hanya
merujuk pada Al-Qur’an, melainkan juga dalam Al-Hadist. Hal ini sebagaimana
posisi umum hadist yang berfungsi untuk menjelaskan lebih lanjut aturan yang
telah digariskan melalui Al-Qur’an, pelarangan riba dalam hadist lebih terinci.
Dalam amanat terakhirnya pada tanggal 9
Dzhulihajjah tahun 10 Hijriah, Rasullah saw masih menekankan sikap islam yang
melarang riba.
“ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu dan Dia pasti
akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba. Oleh karena
itu, utang akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak
kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan. Selain itu
masih banyak lagi hadist yang menguraikan masalah riba. Diantaranya:
Diriwayatkan oleh Aun bin Abi Juhaifa, “Ayahku
membeliseorang budak yang pekerjaannya membekam (mengularkan darah kotor dari
kepala) Ayahku kemudian memusnahkan peralatan bekam si budak tersebut. Aku
bertanya kepada ayah mengapa beliau melakukannya. Ayahku menjawab bahwa
Rasullah saw melarang untuk menerima uang dari transaksi darah, anjing dan
kasab budak perempuan. Beliau juga melaknat pekerjaan penato dan yang minta
ditato, menerima dan memberi riba serta beliau melaknat para pembuat gambar.”
(HR. Bukhari no. 2084 kita al-Bayu)
Diriwiyatkan oleh Abu Said al-Khudri bahwa
pada suatu ketika Bilal membawa barni (sejenis kurma berkualitas baik) ke
hadapan Rasullah saw dan beliau bertanya kepadanya, “Dari mana engkau
mendapatkannya?” Bilal menjawab, “saya mempunyai sejumlah kurma dari jenis yang
rendah mutunya dan menukarkannya dua sha’ kurma jenis barni untuk dimakan oleh
Rasullah saw.. “selepas itu Rasullah saw terus berkata, “Hati-hati! Hati-hati!
Ini sesungguhnya riba, ini sesungguhnya riba. Jangan berbuat begini, tetapi
jika kamu membeli (kurma yang mutunya lebih tinggi), jualah kurma yang mutunya
rendah untuk mendapatkan uang dan kemudian gunakanlah uang tersebut untuk
membeli kurma yang bermutu tinggi itu.” (HR Bukhari no. 2145, kitab al-Wakalah)
Diriwiyatkan oleh Abdurrahman bin Abu Bakar
bahwa ayahnya berkata “Rasullah saw melarang penjualan emas dengan emas dan
perak dengan perak kecuali sama beratnya, dan membolehkan kita menjual emas
dengan perak begitu sebaliknya sesuai dengan keinginan kita.” (HR Bukhari no.
2034, kitab al-Buyu)
Diriwiyatkan oleh Abu Said al-Khudri bahwa
Rasullah saw, bersabda “Emas hendaknya dibayar dengan emas, perak dengan perak,
gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan
garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash). Barangsiapa memberi
tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan dengan riba, penerima dan pemberi
sama bersalah.” (HR Muslim no. 2971, dalam kitab al-Mussaqah)
Diriwiyatkan oleh samurah bin Jundub bahwa
Rasullah saw bersabda “malam tadi aku bermimpi, telah datang dua orang dan
membawaku ke Tanah suci. Dalam perjalanan, sampailah kami ke suatu sungai
darah, di mana di dalamnya berdiri seorang laki-laki. Di pinggir sungai
tersebut berdiri seorang laki-laki lain dengan batu di tangannya, laki-laki
yang di tengah sungai itu berusaha untuk keluar, tetapi laki-laki yang
dipinggir sungai tadi melempari mulutnya dengan batu dan memaksanya kembali ke
tempat asal. Aku bertanya “siapakah itu?” Aku diberitahu bahwa laki-laki yang
di tengah sungai itu ialah orang yang memakan riba.” (HR Bukhari no. 6525,
kitab at-Ta’bir)
Jabir berkata bahwa Rasullah saw mengutuk
orang yang menerima riba, orang yang membayarnya dan orang yang mencatatnya,
dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda “Mereka itu semuanya sama.”
(HR Muslim no. 2995, kitab al-Musaqqah)
Diriwiyatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasullah
saw berkata “pada malam perjalan mi’raj, aku melihat orang-orang yang perut
mereka seperti rumah, di dalamnya dipenuhi oleh ular-ular yang kelihatan dari
luar. Aku bertanya kepada jibril siapakah mereka itu? Jibril menjawab bahwa
mereka adalah orang-orang yang memakan riba.”
Al-Hakim meriwiyatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa
Nabi saw bersabda “Riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan) yang paling rendah
(dosanya) sama dengan seseorang yang melakukan zina dengan ibunya”.
Diriwiyatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasullah
saw bersabda “Tuhan sesungguhnya berlaku adil karena tidak membenarkan empat
golongan masuk surga atau tidak mendapat petunjuk dari-Nya. (mereka itu adalah,
Peminum arak, pemakan riba, pemakan harta anak yatim, dan mereka yang tidak
bertanggung jawab/menelantarkan ibu-bapaknya.”
E. Definisi Bunga
Bunga (interest)
dapat dimengerti sebagai uang yang dibayarkan/diterima atas penggunaan sejumlah
pinjaman atau sejumlah uang yang disimpan. Dalam pengertian yang lebih luas
bunga dapat dianggap sebagai uang yang diperoleh dari investasi sejumlah modal
tertentu.
Menurut bahasa atau
bunga adalah uang yang dikenakan atau dibayar atas penggunaan uang.
Definisi interest menurut Samuel
G. Kling, dalam The Legal Encylopedia for Home and Business, 1960, 246
(IBI,36), “Interest is compensation for the use of money which due.”
Menurut Oxford English
Dictionary, 1989, 109 (IBI, 37) mendefinisikan,“Interest is money paid for
the use of money lent (the principal), or for forbearance of a debt, according
to a fixed ratio (rafe per cent)”.
Usury didefinisikan dalam Oxford
English Dictionary, 1989,365 (IBI,37) adalah “The fact or practice of
lending money at interest, especially in later use, the practice of charging,
taking or contracting to receive, exessive or illegal rate of interest for
money on loan.”
Menurut Cardinal de Lugo (1593-1623), mendefinisikan, “Usury
is gain immediately arising as an obligation from a loan of mutuum if gain
doesn not arise from mutuum but from purchase and sale, however unjust, it is
not usury, and likewese if it is not paid as an obligation due but from
goodwill, gratitude, or friendship, it is not usury”.
Dari beberapa definisi tersebut
dapat disimpulkan bahwa interest dan usury merupakan dua konsep yang serupa,
yaitu keuntungan yang diharapkan oleh pemberi pinjaman atas peminjaman uang
atau barang (mutuum), yang sebenarnya barang atau uang tersebut apabila tidak
ada unsur tenaga kerja tidak akan menghasilkan apa-apa.
Usury muncul akibat proses peminjaman dan bukan akibat jual
beli, dengan kata lain tambahan dari harga pokok dalam jual beli bukanlah usury
atau interest, tetapi laba atau keuntungan.
F. Macam –Macam Bunga Bank
Menurut
Lipsey, Ragan, dan Courant (1997 : 99-100) suku bunga dapat dibedakan menjadi
dua macam yaitu suku bunga nominal dan suku bunga riil.
1.
Suku bunga nominal
Suku
bunga nominal adalah suku bunga yang biasa kita lihat bank atau media cetak.
Misalnya perusahaan meminjam uang dari bank sebesar $100.000 selama setahun
pada suku bunga nominal 10%, maka pada akhir tahun perusahaan harus
mengembalikan pinjaman tersebut sebesar $110.000 (yaitu $100.000 x 10%).
Suku
bunga nominal cenderung naik seiring dengan angka inflasi. Jika, misalnya, bank
memberlakukan suku bunga 10% pada ekspektasi inflasi selama satu tahun ke depan
adalah 0%, maka bank mungkin akan memberlakukan suku bunga 13% jika ekspektasi
inflasinya adalah 3%.
Pada
suku bunga nominal menjelaskan bahwa jumlah uang yang dibayarkan harus sesuai
dengan jumlah uang yang dipinjamnya.
2.
Suku bunga rill
Suku
Bunga Riil adalah suku bunga setelah dikurangi dengan inflasi, (atau suku bunga
riil = suku bunga nominal – ekspektasi inflasi). Misalnya pada contoh diatas
inflasi yang diantisipasi adalah sebesar 3% dan suku bunga nominal naik menjadi
13%, maka suku bunga riil sebenarnya tidak berubah (yaitu 13% – 3%).
Suku
bunga riil sangat penting dipertimbangkan. Bagi orang yang menabung uang di
bank, misalnya, dengan tingkat suku bunga 5% dan inflasi tahun tersebut
ternyata sebesar 4%, maka suku bunga riil yang ia peroleh hanyalah sebesar 1%.
Hal ini dikarenakan inflasi yang terjadi selama ia menabung uang telah
mengurangi nilai keuntungan (bunga) yang diperoleh.
Sementara
bagi orang yang meminjam uang dari bank, jika suku bunga pinjaman sebesar 12%
dan tingkat inflasi sebesar 5%, maka suku bunga riil yang harus dibayar
hanyalah 8%. Ini dikarenakan harga barang dan jasa (termasuk pendapatan si peminjam)
rata-rata naik sebesar 5%, sehingga biaya atas pinjaman (cost of capital) hanya
tinggal 8%.
pada
suku bunga riil menjelaskan bahwa selisih antara suku bunga nominal dengan laju
invlasi, dimana suku bunga riil lebih menekankan pada rasio daya beli uang yang
dibayarkan kembali terhadap daya beli uang yang dipinjam.
G. Perbedaan bunga dan riba menurut kalangan pro bunga bank
1. Bunga bank itu halal (bukan riba). Alasannya jika bunga bank itu diharamkan
seperti riba, maka pasti sudah tertanam rasa kebencian dalam hati orang muslim
yang baik-baik. Sebagaimana Firman Allah yang artinya “ Allah menanamkan rasa
kebencian di dalam hati kaum terhadap kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan.” [QS. Al-Hujurat 49 : 7]
a. Sedangkan kebencian terhadap bunga bank itu tidak
terwujud. Dengan demikian, maka bunga bank itu tidak haram (bukan riba).
2. Jika bunga bank itu termasuk riba, maka pasti sudah dimusnahkan. Karena
Allah sudah menentukan bahwa Allah akan memusnahkan peraktek riba setelah 40
tahun.
a. Sebagaimana firman Allah yang artinya : “ Allah akan
memusnahkan riba dan menyuburkan shodaqoh.” [QS. Al-Baqoroh 2 : 276]
b. Dan firman Allah yang artinya : “Jika kamu tidak
melakukan yaitu tidak meninggalkan sisa-sisa riba, maka ketahuilah bahwa Allah
dan Rasul-Nya memeranginya.” [QS. Al-Baqoroh 2 : 279]
c. Sedangkan realitas yang terjadi ternyata musnahnya
bunga bank itu tidak terwujud. Dengan demikian, bunga bank itu tidak haram
(bukan riba)
3. Realitas orang Muslim yang baik-baik memandang baik terhadap bunga bank,
sehingga 97 % pengusaha Muslim berhubungan dengan bank Konvensional. Apabila
ada sesuatu yang dipandang baik oleh orang Muslim yang baik-baik, maka itu
artinya baik pula menurut pandangan Allah. Sebagaimana sabda Rasul Saw. Yang
artinya : “ Sesuatu yang dianggap baik oleh orang Muslim yang baik-baik, maka
menurut Allah pun baik.” Dengan demikian, bunga bank itu tidak haram (bukan
riba).
4. Jika bunga bank itu riba, maka pasti pelakunya sudah dijauhkan dari Allah
(sudah tidak melakukan sholat)
a. karena Rasul Saw. bersabda yang artinya : “Rasul Allah
menjauhkan (melaknat) semua pelaku riba baik yang membelanjakannya,
mewakilinya, menyaksikannya dan penulisnya dari rahmat Allah Swt.”
b. Akan tetapi
terlaknatnya pelaku bunga bank konvensional itu tidak terwujud, mereka
melakukan sholat, puasa, haji dll. Yang diridoi oleh Allah Swt. Dengan
demikian, bunga bank konvensional itu tidak haram (bukan riba).
5. Tahun lalu, tepatnya 27 Ramadhan 1423 H/2 Desember 2002 M, Majma al-Buhust
al-Islamiyah salah satu badan tertinggi al-Azhar, mengadakan rapat membahas
soal bank konvensional yang dipimpin oleh Syekh Al-Azhar. Forum itu memutuskan
:
a."Mereka yang bertransaksi dengan atau bank-bank
konvensional dan menyerahkan harta dan tabungan mereka kepada bank agar menjadi
wakil mereka dalam menginvestasikannya dalam berbagai kegiatan yang dibenarkan,
dengan imbalan keuntungan yang diberikan kepada mereka serta ditetapkan
terlebih dahulu pada waktu-waktu yang disepakati bersama orang-orang yang
bertransaksi dengannya atas harta-harta itu, maka transaksi dalam bentuk ini
adalah halal tanpa syubhat (kesamaran), karena tidak ada teks keagamaan di
dalam Alquran atau dari Sunnah Nabi yang melarang transaksi di mana ditetapkan
keuntungan atau bunga terlebih dahulu, selama kedua belah pihak rela dengan
bentuk transaksi tersebut."
b. Allah berfirman: "Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan yang batil. Tetapi
(hendaklah) dengan perniagaan yang berdasar kerelaan di antara kamu. (QS.
an-Nisa': 29).
c. Kesimpulannya, penetapan keuntungan terlebih dahulu
bagi mereka yang menginvestasikan harta mereka melalui bank-bank atau selain
bank adalah halal dan tanpa syubhat dalam transaksi itu
d. Ini termasuk dalam persoalan "Al-Mashalih
Al-Mursalah", bukannya termasuk persoalan aqidah atau ibadat-ibadat yang
tidak boleh dilakukan atas perubahan atau penggantian.
H. Persamaan bunga dengan riba secara
logis
Terdapat banyak kesamaan yang penulis dapat
gambarkan dalam tabel di bawah ini:
RIBA
|
BUNGA
|
a. tambahan terhadap
harta pokok yang dikenakan kepada peminjam uang
|
a. system yang
digunakan untuk mengambil kemanfaatan
atas menabung dan meminjam uang
|
b. tambahan
yang diterapkan menyengsarakan si peminjam, menimbulkan rasa pongoh dan malas
berusaha karena tinggal menunggu tambahan terhadap harta pokok
|
b.
menyusahkan sekaligus menyengsarakan si peminjam apabila tidak mampu
mengembalikan pinjaman maka harta sebagai jaminan diambil
|
c. selalu
menguntungkan orang yang memungut riba
|
c. selalu
menguntungkan kepada yang menerapkan sistem bunga, nasabah ketika menabung
dan bank ketika meminjamkan uang ke nasabah
|
d. alasan
dikenakannya tambahan terhadap harta pokok adalah keinginan pemungut riba
yang menunda memakai uang untuk terlebih dahulu meminjamkan uangnya kepada si
debitur
|
d. alasan
dikenakan bunga karena, penggunaan modal dapat meningkatkan produktifitas
sehingga menaikan pendapat, dan juga adanya waktu yang direlakan dari
kreditur untuk menunggu keinginannya sendiri menggunakan modal yang
dipinjamkannya ke debitur
|
e. jumlah
tambahan riba selalu sama
|
e. pembagian
bunga selalu tetap sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi
sedang “booming”
|
f. riba
dikecam oleh semua agama baik islam, nasrani dan yahudi
|
f. islam
melarang keras praktek bunga, begitu juga dengan pendeta masa awal kristen
dan para filsuf dari yunani
|
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Baik bunga dan riba menurut pengamatan kami memiliki banyak persamaan
sehingga wajar sekali dimasa saat ini penolakan penerapan riba di kalangan
cendikiawan muslim amat genjar dikumandangkan.
Salah satu persamaannya adalah tambahan terhadap harta pokok pinjaman yang
dikenakan kepada debitur, selain itu bunga dan riba diambil karena memiliki
alasan yang sama yaitu adanya permintaan kompensasi oleh kreditur terhadap
debitur karena ada waktu yang direlakan oleh kreditur untuk menerima kembali
uang yang dipinjamkannya dan juga adanya kesempatan yang kreditur tidak gunakan
karena uangnya dipinjamkan untuk debitur.
Dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist masalah riba dilarang dengan tegas lewat
beberapa ayat yang diturunkan secara bertahap ini menegaskan permasalah masalah
riba merupakan masalah akut yang sudah mengakar di bangsa arab, yahudi saat itu
sehingga Allah perlu melarang riba dengan mengeluarkan firmanya secara
bertahap.
Dari Al-Hadist Rasullah saw hingga akhir hayatnya sangat memperhatikan
permasalahan riba, dia tidak menginginkan umatnya terjerumus dengan praktek
riba sehingga dia menekankan dengan keras akan ada siksa yang sangat pedih
terhadap pemungut, pencatat dan yang menerima riba.
Sehendaknya praktek riba tidak ada lagi dimuka bumi ini karena memiliki
sifat yang haram, menghancurkan dan buruk sekali. Praktek bunga sebenarnya
sudah bisa digantikan dengan praktek bagi hasil yang sudah jelas dan nyata
diterapkan pada masa Rasullah saw hidup, dengan demikian tinggal kita saja
masyarakat islam bagaimana bisa menerapkan konsep bagi hasil dalam kehidupan
sehari-hari khusunya pada praktek ekonomi perbankan.
B. Saran
Daftar Pustaka
Antonio, M. Syafii. 2001. Bank Syariah dari
Teori ke Praktek. Jakarta: Tazkia Cendikia
Usman, Rachmadi. 2009. Produk dan Akad
Perbankan Syariah di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bhakti
Karim, Adirwan A. 2006. Ekonomi Makro
Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Salman, Kautsar Riza. 2012. Akuntansi
Perbankan Syariah Berbasis PSAK Syariah. Jakarta: Academia Permata
[1] Anwar Iqbal Quresyi, islam and the theory
of interest (lahore : SH. Muhammad Ashraf, 1991)
[2] Umdatul Qari (constantinople: Mathba’a
al-Amira. 1310 H), vol. V, hlm. 436.
[3] Al-Mabsut, Vol. XII, hlm. 100.
[4] Lihat tafsir al-Qurthubi (4/200) dan tafsir
ath-Thabari (7/200)
[5] Lihat tafsir al-Qurthubi (4/200) dan
tafsir ath-Thabari (7/204)
[6] Tahdzib at-Thadzib (2/103-104)
[7] Ibnu-Qayyim al-Jauziyyah. I’lam
al-Muwaqqiin (2/132)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar