Senin, 10 April 2017

RESUME ASURANSI SYARIAH BESERTA PRODUK-PRODUKNYA DAN CARA PENGHITUNGANNYA

RESUME MATERI VI & VII (ENAM & TUJUH)
ASURANSI SYARIAH (TAKAFUL) & PRODUK ASURANSI SYARIAH
DOSEN PENGAMPU : Dr. Nella Yantiana / Eko Bahtiar. M.E.I
MATA KULIAH : BANK dan LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
DI SUSUN OLEH FACHRI ADHA (1142310045)
  • Pengertian, Prinsip Dasar Operasional serta ketentuanya, Perbedaan Asuransi Syariah dan Konvensional, Kendala Penegembangan dan Strategi Pengembangan Asuransi Syariah.
Pengertian dan Sejarah Asuransi Syari’ah

Dalam bahasa Arab asuransi disebut at-ta’min, penanggung disebut mu’ammin, sedangkan tertanggung disebut mu’amman lahu atau musta’min. At-ta’min diambil dari kata namaa memiliki arti memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut.

Sejarah berdirinya asuransi syari’ah, perjanjian asuransi yang bertujuan untuk berbagi resiko antara penderita musibah dan perusahaan asuransi dalam berbagai macam lapangan, merupakan hal baru yang belum pernah dikenal dalam kehidupan Rasulullah SAW, para sahabat dan tabi’in. 

Dalam catatan sejarah dunia Barat, dikalangan bangsa Romawi muncul gagasan melakukan perjanjian asuransi laut pada abad 12, kemudian memencar di beberapa daerah Eropa pada abad 14. pada tahun 1680 di London berdiri asuransi kebakaran sebagai akibat peristiwa kebakaran besar di London tahun 1666 yang melahap lebih dari 13.000 rumah dan kira-kira 100 gereja.

Pada abad 18 bermunculan perusahaan asuransi kebakaran di beberapa negara, seperti Perancis, dan Belgia di Eropa. Kemudian di Amerika muncul pula pada abad 19 asuransi jiwa bagi awak kapal mulai dikenal, yang berarti pada mulanya asuransi jiwa merupakan bagian dari asuransi laut. 

Perusahaan asuransi jiwa meluas dan berkembang pada abad 20 hingga sekarang. Perusahaan asuransi laut dan kebakaran yang pertama kali muncul di Indonesia adalah Batavinsche Zee and Brand Assurantie Maat Shappij, didirikan pada tahun 1843. Pada tahun1912 lahir perusahaan asuransi jiwa Bumi Putera sebagai usaha pribumi.

Kebutuhan akan kehadiran jasa asuransi yang berdasarkan syari’ah diawali dengan mulai beroperasinya bank-bank syari’ah. Hal tersebut sesuai dengan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan ketentuan pelaksanaan bank syari’ah, untuk itulah pada tanggal 27 Juli 1993, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) melalui gagasan Abdi Bangsa bersama Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan perusahaan Asuransi Tugu Mandiri sepakat memprakarsai pendirian asuransi takaful, dengan menyusun Tim Pembentukan Asuransi Takaful Indonesia (TEPATI).

            TEPATI telah merealisasikan berdirinya PT. Syarikat Takaful Indonesia sebagai Holding Company dan dua anak perusahaan PT. Asuransi Takaful Keluarga (asuransi jiwa) dan PT. Asuransi Takaful umum (Asuransi Takaful Kerugian). Dibentuknya dua perusahaan tersebut, adalah untuk mengikuti ketentuan UU No. 2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian, dimana perusahaan asuransi kerugian harus didirikan secara terpisah. Tugas Holding Company selanjutnya adalah mengembangkan keuangan syari’ah lainnya, antara lain; leasing, anjak piutang, modal ventura, pegadaian, dan sebagainya. Dalam hal ini fungsi utama asuransi takaful adalah sebagai Investment Company.
            Pendirian dua anak perusahaan PT. Syarikat Takaful Indonesia adalah dalam rangka menyesuaikan dengan ketentuan yang terdapat dalam Bab III Pasal 3 UU No. 2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian pada poin a,b yang berbunyi:
a. Usaha asuransi kerugian yang memberikan jasa dalam penanggulangan resiko atas kerugian, kehilangan manfaat dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.
b. Usaha asuransi jiwa yang memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap resiko yang dihadapi perusahaan asuransi kerugian dan perusahaan asuransi jiwa.[1]

Prinsip Operasional Asuransi Syariah (Takaful)
Secara prinsip, syariah mencakup seluruh aktivitas muslim terkait perilaku baik dan buruk serta halal dan haram. Syariah bertumpu pada iman dan akhlak serta memiliki balasan di dunia dan akhirat. Syariah mengacu kepada Al-Quran dan As-Sunnah Nabi Muhammad SAW, begitu juga aturan yang diterapkan dalam Asuransi Syariah. Dalam konteks bisnis khususnya asuransi berbasis syariah, ketentuan dalam Al-Quran dan As-Sunnah serta pendapat ulama (fiqih) diterjemahkan dalam produk asuransi.
Dalam konteks syariah, asuransi merupakan usaha kerjasama untuk saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang dalam menghadapi musibah atau bencana melalui perjanjian yang disepakati bersama sesuai dengan ajaran Islam. Perjanjian yang digunakan menggunakan prinsip akad Takafuli yang artinya tolong-menolong dengan prinsip dasar Tabarru', sedangkan pengelolaan dana menggunakan prinsip Mudharabah melalui investasi Syariah.[2]
Perlu diperhatikan bahwa dalam Asuransi Syariah harus sesuai dengan Syariah Islam dengan mempertimbangkan larangan yang harus dihindari yaitu tidak mengandung Gharar (ketidakpastian), Maysir (perjudian), Riba (bunga), barang haram dan maksiat yang dil
Asuransi syariah berbeda dengan asuransi konvensional tidak hanya pada tataran kemasan, tetapi lebih mendalam lagi, yaitu dalam tataran konsep dan prinsip operasional.
Berikut adalah 9 prinsip yang menjadi karakteristik operasional asuransi syariah.
1.      Asuransi syariah menerapkan konsep saling menanggung dan tanggung jawab bersama. “Takaful” artinya saling menjamin di antara anggota kelompok.
2.      Akad asuransi syariah bukan merupakan kontrak jual-beli di mana satu pihak menawarkan dan pihak lain bersedia membeli layanan dengan harga tertentu.
3.      Akad asuransi syariah merupakan kesepakatan sekelompok orang untuk menjamin atau melindungi diri mereka terhadap kemalangan atau kesusahan, yang disepakati jenisnya, melalui pengumpulan dana bersama.
4.      Dalam hal salah satu anggota menderita kerugian karena kemalangan atau bencana, anggota tersebut akan menerima sejumlah uang dari dana bersama sesuai ketentuankesepakatan. Kerugian tersebut bukanlah pemindahan tanggung jawab ke pihak lain atau pihak perantara, sebagaimana dipraktekkan dalam asuransi konvensional.
5.      Dalam akad asuransi syariah, para peserta adalah tertanggung sekaligus penanggung. Setiap peserta harus membayar sejumlah kontribusi ke dalam dana bersama yang disebut “dana takaful”. Besarnya kontribusi harus sesuai dengan tingkat risiko, yang dapat dihitung menggunakan prinsip-prinsip ilmiah dan modern di bidang aktuaria.
6.      Untuk menghilangkan unsur berjudi, setiap peserta harus bersedia menyisihkan dana sumbangan (tabarru) sesuai dengan biaya risiko. Dengan demikian, santunan yang diberikan kepada para peserta yang mengalami kemalangan/musibah berasal dari dana sumbangan.
7.      Para peserta asuransi syariah berhak mendapatkan surplus dana (setelah pembayaran klaim, reasuransi, cadangan teknis dan biaya), sesuai sistem pembagian yang disepakati. Sebaliknya, bila terjadi kekurangan dana, para peserta juga secara kolektif bertanggung jawab menutupnya sesuai proporsi masing-masing.
8.      Peran perusahaan asuransi dalam asuransi syariah adalah sebagai pengelola dana takaful bagi peserta yang ditunjuk melalui kontrak perwakilan (wakalah). Sebagai pengelola dana, perusahaan asuransi mendapatkan imbalan dalam bentuk fee, yaitu: management fee,  performance fee (laba investasi + surplus underwriting).
9.      Dalam hal terjadi defisit, demi praktisnya, perusahaan asuransi syariah berkewajiban meminjamkan modalnya untuk menutup kekurangan, tanpa bunga. Pinjaman tersebut akan ditutup oleh surplus di masa mendatang. Besarnya modal yang dimiliki perusahaan asuransi menentukan kapasitas underwriting dari dana takaful.[3]

Perbedaan Asuransi Syariah (Takaful) dengan Asuransi Konvensional
No.
Prinsip yang Digunakan
Asuransi Konvensional
Asuransi Syariah
1.
Konsep dan Akad yang digunakan
Perusahaan asuransi (Penanggung) mengikatkan diri kepada Tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk tujuan proteksi   dengan akad  Jual Beli (Mu'awadah, Idz'aan, Gharar, dan Mulzim)
Konsep kerjasama dari sekumpulan orang untuk saling membantu, saling menjamin, dengan cara mengeluarkan dana tabarru' (dana sosial) dengan akad Tabarru’ dan Akad Tijarah (Mudharabah, Wakalah, Wadiah, Syirkah)
2.
Dewan Pengawas Syariah (DPS)
Tidak ada
Ada, berfungsi mengawasi pelaksanaan operasional perusahaan agar sesuai dengan prinsip syariah
3.
Sistem Perlindungan Resiko
Transfer of Risk, yaitu transfer risiko dari Tertanggung kepada Penanggung
Sharing of Risk, di mana terjadi proses saling menanggung antara satu peserta dengan peserta lainnya
5.
Pengelolaan Dana
Tidak ada pemisahan dana,  yang berakibat terjadinya dana hangus
Ada pemisahan dana pengelola dan peserta, sehingga tidak ada dana hangus
6.
Status Kepemilikkan Dana
Dana dari premi peserta seluruhnya menjadi milik perusahaan
Dana milik peserta, Asuransi Syariah hanya sebagai pemegang amanah mengelola dana
7.
Sumber Pembayaran Klaim
Sumber biaya klaim adalah rekening perusahaan
Sumber biaya klaim dari rekening tabarru', di mana peserta saling menanggung
8.
Profit
Keuntungan dari Surplus Underwrting, Komisi Reasuransi, dan Hasil Investasi adalah milik perusahaan
Keuntungan bukan milik perusahaan tetapi dilakukan Bagi Hasil dengan peserta
Jika dilihat tabel di atas, perbedaan di antara keduanya bisa menentukan halal–haramnya suatu produk, misalnya ketika menentukan Kontribusi Premi dan Cadangan Premi, Asuransi Konvensional berdasarkan perhitungan bunga, sedangkan Asuransi Syariah berdasarkan Konsep Bagi Hasil dan Skema Bagi Hasil. Prinsip Bagi Hasil: apabila akhir periode terdapat Surplus Underwriting, maka pengelola mendapatkan persentase.[4]

Tantangan Pengembangan dan Strategi Pengembangan Asuransi Syariah
Tantangan terbesar yang dihadapi oleh industri asuransi syariah bersumber pada dua hal utama yaitu permodalan dan sumber daya manusia. Tantangan-tantangan lain seperti masalah, ketidaktahuan masyarakat terhadap produk asuransi syariah, image dan lain sebagainya merupakan akibat dari dua masalah utama tersebut.
1. Minimnya Modal
Beberapa hal yang menjadi penyebab relative rendahnya penetrasi pasar asuransi syariah dalam sepuluh tahun terakhir adalah rendahnya dana yang memback up perusahaan asuransi syariah, promosi dan edukasi pasar yang relative belum dilakukan secara efektif (terkait dengan lemahnya dana), belum timbulnya industri penunjang asuransi syariah seperti broker-broker asuransi syariah, agen, adjuster, dan lain sebagainya, produk dan layanan belum diunggulkan diatas produk konvensional, posisi pasar yang masih ragu antara penerapan konsep syariah yang menyeluruh dengan kenyataan bisnis di lapangan yang terkadang sangat jauh dari prinsip syariah, dukungan kapasitas reasuransi yang masih terbatas (terkait jua dengan dana) dan belum adanya inovasi produk dan layanan yang benar-benar digali dari konsep dasar syariah.
2. Kurangnya SDM yang Profesional
Terus bertambahnya perusahaan asuransi syariah merupakan kabar baik bagi perkembangan industri tersebut. Namun, sayangnya hal itu tidak diimbangi dengan ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) asuransi syariah yang berkualitas. Seringkali, pembukaan cabang atau divisi asuransi syariah baru hanya didukung jumlah SDM terbatas.
Berdasarkan data Islamic Insurance Society (IIS) per Maret lalu, sekitar 80 persen dari seluruh cabang atau divisi asuransi syariah belum memiliki ajun ahli syariah. IIS mengestimasi asuransi syariah Indonesia per Maret lalu memiliki sekitar 200 cabang dan hanya didukung 30 ajun ahli syariah. Jumlah yang cukup sedikit bila dibandingkan kondisi SDM di asuransi konvensional. Per Maret lalu, sebagian besar cabang asuransi konvensional telah memiliki sedikitnya seorang ajun ahli asuransi syariah. Jumlah tersebut sesuai dengan ketentuan departemen keuangan (Depkeu).
Padahal, keahlian ajun ahli syariah sangat dibutuhkan dalam mendorong perkembangan inovasi produk asuransi syariah. Hal tersebut berdampak pada kurang berkembangnya produk inovatif di industri asuransi syariah. Saat ini, sebagian besar cabang atau divisi asuransi syariah lebih memilih untuk meniru produk asuransi konvensional lalu dikonversi menjadi syariah (mirroring).
3. Ketidaktahuan Masyarakat Terhadap Produk Asuransi Syariah
Ketidaktahuan mengenai produk asuransi syariah (takaful) dan mekanisme kerja merupakan kendala terbesar pertumbuhan asuransi jiwa ini. Akibatnya, masyarakat tidak tertarik menggunakan asuransi syariah, dan lebih memilih jasa asuransi konvensional.
Itulah hasil riset Synovate mengenai alasan pemilihan asuransi syariah. Ketua Umum Asuransi Syariah Indonesia Mohammad Shaifie Zein mengatakan, dari hasil survei Synovate, sebagian besar responden tidak tertarik kepada asuransi jiwa syariah.
4. Dukungan Pemerintah Belum Memadai
Meski sudah menunjukkan eksistensinya, masih banyak kendala yang dihadapi bagi pengembangan ekonomi syariah di Indonesia. Soal pemahaman masyarakat hanya salah satunya. Kendala lainnya yang cukup berpengaruh adalah dukungan penuh dari para pengambil kebijakan di negeri ini, terutama menteri-menteri dan lembaga pemerintahan yang memiliki wewenang dalam menentukan kebijakan ekonomi.
Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pada masa kampanye pemilu kemarin menyatakan mendukung ekonomi syariah, belum sepenuhnya mewujudkan dukungannya itu dalam bentuk program kerja tim ekonomi kabinetnya.
Kendala lainnya adalah masalah regulasi. Penerapan syariah yang makin meluas dari industri keuangan dan permodalan membutuhkan regulasi yang tidak saling bertentangan atau tumpang tindih dengan aturan sistem ekonomi konvensional. Para pelaku ekonomi syariah sangat mengharapkan regulasi untuk sistem ekonomi syariah ini bisa memudahkan mereka untuk berekspansi bukan malah membatasi. Saat ini, peraturan tentang permodalan masih menjadi kendala perbankan syariah untuk melakukan penetrasi dan ekpansi pasar.
5. Image
Salah satu tantangan besar bisnis asuransi syariah di Indonesia dan negara lainnya, menurut Zein, adalah meyakinkan masyarakat akan keuntungan menggunakan asuransi syariah. “Perlu sekali mensosialisasikan asuransi syariah bukan saja berasal dari agama, tetapi memperlihatkan keuntungan.” Kenyataan di lapangan menunjukkan, bahwa para pelaku ekonomi syariah masih menghadapi tantangan berat untuk menanamkan prinsip syariah sehingga mengakar kuat dalam perekonomian nasional dan umat Islamnya itu sendiri.
Berdasarkan konsep Risk Based Capital (RBC) perusahaan asuransi di Indonesia sebenarnya dapat beroperasi dengan modal yang sangat rendah (diatas Rp 3 milyar) asal sehat dan memenuhi Risk Based Capital diatas 120%. Asuransi syariah dalam bentuk cabang atau divisi dari perusahaan asuransi konvensional dapat beroperasi dengan penyisihan modal minimal Rp 2 milyar.
Kemudahan-kemudahan permodalan ini disatu sisi baik untuk mendorong timbulnya perusahaan asuransi/cabang/divisi syariah. Di sisi lain sebenarnya harus disadari bahwa ketentuan minimum tersebut kurang mendorong timbulnya perusahaan asuransi yang sehat. Struktur permodalan yang kuat sangat dibutuhkan untuk mengangkat industri asuransi syariah. Dengan modal yang kuat perusahaan asuransi syariah akan dapat melaksanakan fungsi-fungsi yang semestinya, antara lain edukasi pasar melalui berbagai media komunikasi untuk menjelaskan keberadaan asuransi syariah, keunggulannya, manfaatnya serta kebersihan dari keraguan, pengembangan produk secara berkelanjutan, back-uo keuangan yang kokoh untuk membangkitkan kepercayaan publik.
Untuk Mengatasi kekurangan SDM yang Profesional dapat diatasi dengan akan mendorong peningkatan kuantitas dan kualitas SDM asuransi syariah melalui beberapa program sertifikasi. agar perkembangan industri didukung ketersediaan fellow dan associate berkualitas,
Untuk Memasyarakatkan dan Meningkatkan Asuransi syariah maka LKS harus mengembangkan teknologi informasi yang terdepan, serta meningkatkan promosi dan sosialisasi di segala lapisan masyarakat. Menurutnya, semua pihak harus bekerja keras untuk memperkenalkan sistem asuransi syariah di Indonesia agar masyarakat mengetahui ada solusi dalam pengelolaan risiko secara Islami
Pemerintah Juga harus lebih mendukung Asuransi Syariah, para ekonom yang ada di kabinet saat ini sebaiknya meninggalkan sistem ekonomi kapitalis dan mengikuti aturan main kapitalis, sehingga bisa keluar dari krisis. Penerapan syariah yang makin meluas dari industri keuangan dan permodalan membutuhkan regulasi yang tidak saling bertentangan atau tumpang tindih dengan aturan sistem ekonomi konvensional. Para pelaku ekonomi syariah sangat mengharapkan regulasi untuk sistem ekonomi syariah ini bisa memudahkan mereka untuk berekspansi bukan malah membatasi. Saat ini, peraturan tentang permodalan masih menjadi kendala perbankan syariah untuk melakukan penetrasi dan ekpansi pasar.
Pemerintah sebagai regulator belum mengeluarkan kebijakan di bidang asuransi syariah sebagaimana halnya pada perbankan syariah yang memiliki UU Perbankan Syariah. ”Sekarang ini sudah ada regulasi yang memadai, tapi rasanya belum cukup. Bahkan kalau memungkinkan asuransi juga diberikan insentif, Insentif yang diharapkan misalnya dalam bentuk perpajakan atau bentuk lainnya. Dengan adanya insentif dan regulasi yang memadai, diberharapkan hal tersebut dapat merangsang industri syariah agar bisa berkembang lebih cepat. Selain pihak regulator, DSN dapat mengeluarkan fatwa yang dapat mengakselerasi industri asuransi syariah.
Asuransi yariah juga masih menemukan kendala dari masyarakat yang memiliki kesalahpahaman atas asuransi syariah. ”Asuransi syariah dipandang harus murah, mudah dan untung. Padahal asuransi juga menghitung bisnis dan laba, Sementara itu lingkungan bisnis ekonomi saat ini yang rentan terhadap penyogokan membuat asuransi syariah tak bisa masuk ke dalam bisnis tersebut.[5]
  • Apa saja produk - produk Asuransi Syariah (Takaful) dan Cara Menghitungnya
Produk – produk Asuransi Syariah (Takaful)
Asuransi syariah terdiri dari dua jenis yaitu:
a. Takaful Keluarga (Asuransi Jiwa) adalah bentuk asuransi syariah yang
memberikan perlindungan dalam menghadapi musibah kematian dan kecelakaan atas diri peserta asuransi takaful.
Produk asuransi takaful keluarga meliputi :
Takaful berencana
Takaful pembiayaan
Takaful pendidikan
Takaful dana haji
Takaful berjangka
Takaful kecelakaan siswa
Takaful kecelakaan diri
Takaful khairat keluarga
b. Takaful Umum (asuransi Kerugian) adalah bentuk asuransi syariah yang memberikan perlindungan finansial dalam menghadapi bencana atau kecelakaan atas harta benda milik peserta takaful.
Produk-produk Asuransi Takaful umum adalah :
1. Takaful kebakaran
2. Takaful kendaran bermotor
3. Takaful pengangkutan
4. Takaful Resiko Pembangunan
5. Takaful Resiko Pemasangan
6. Takaful Penyimpanan Uang
7. Takaful Gabungan
8. Takaful Aneka
9. Takaful rekayasa/Engineering[6]
Cara perhitungan dalam produk asuransi syariah
Ilustrasi perhitungan adalah sebagai berikut. Seorang peserta mengambil masa pertanggungan selama 15 tahun dengan premi sebesar Rp 1 juta pertahun. Jika skala perhitungan sebesar 2% maka dari Rp 1 juta tersebut dipotong Rp 20 ribu untuk dimasukkan ke rekening khusus (tabarru’), sehingga uang di rekening peserta tinggal Rp 980 ribu setahun.Dalam jangka waktu 15 tahun akan terkumpul Rp 14.700.000. Uang yang dititipkan pada perusahaan asuransi tersebut berhak mendapat keuntungan bagi hasil, misalnya dengan perbandingan 70:30.

Jika pada tahun kelima angsuran, peserta meninggal dunia, maka ia akan mendapat UP. Besarnya yaitu (5 x Rp 9,8 juta) dari rekening tabungan selama 5 tahun, ditambah uang bagi hasil selama 5 tahun, misalnya Rp 500 ribu. Termasuk sisa premi yang belum dibayarkan selama 10 tahun (10 x Rp 1 juta) yaitu Rp 10 juta. Dari mana perusahaan mendapatkan uang Rp 10 juta tersebut? Uang tersebut diambil dari rekening khusus (tabarru’).
           
Begitu pula bagi peserta yang mengundurkan diri akan tetap menerima dana selama 5 tahun dari tabungan rekening dan keuntungan bagi hasil selama tahun, misalnya Rp 500 ribu. Tapi tidak mendapat sisa premi yang belum dibayarkan selama 10 tahun.

Hal tersebut berbeda pada asuransi konvensional.yang biasanya tidak akan mengembalikan pembayaran premi selama masa cicilan, jika nasabah mengundurkan diri sebelum waktu batas waktu tertentu. Pembayaran premi yang dilakukan pada nasabah yang telah melewati batas waktu penarikan juga banyak dipotong dengan biaya administrasi selama masa cicilan dikurangi dana lain-lain. Itu sebabnya jika menarik dana dari asuransi konvensional sebelum masa kontrak selesai dana yang didapat jauh lebih kecil dari nilai tabungan sebenarnya.

Contohnya, seorang nasabah asuransi konvensional yang setuju dengan kontrak asuransi jiwa 10 tahun tiba-tiba mengundurkan diri pada tahun kedua kontrak. Padahal batas waktu penarikan dana dari perusahaan asuransi adalah tiga tahun, maka peserta tidak berhak mengklaim dana apa pun dari asuransi, termasuk dana dari rekening tabungan.

Apabila peserta menarik dana pada tahun keempat, maka dana yang akan diberikan hanya sebesar cicilan premi tahun dikurangi biaya administrasi 4 tahun. Masih dikurangi lagi dengan biaya pinalti yang wajib dibayarkan nasabah. Jadi nasabah asuransi konvensional tidak akan menerima jumlah premi asuransi yang sudah dibayarkan selama masa cicilan jika berhenti di tengah kontrak.[7]

CATATAN KAKI :

[1] http://www.tongkronganislami.net/2016/02/jenis-dan-produk-asuransi-syariah-takaful-islami.html
[2] https://www.cermati.com/artikel/asuransi-syariah-jenis-produk-dan-ketentuan-menggunakannya
[3] http://www.asuransi-allianz.id/2013/03/9-prinsip-operasional-asuransi-syariah.html
[4] https://www.cermati.com/artikel/asuransi-syariah-jenis-produk-dan-ketentuan-menggunakannya
[5] http://irfan-kurniadi.blogspot.co.id/2010/05/asuransi-syariah-prospek-tantangan-dan.html
[6] http://emka.web.id/special/2016/jenis-jenis-asuransi-syariah/
[7] http://www.caraklaim.com/2016/05/bagi-hasil-premi-asuransi-syariah.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Proposal Bisnis

Ide membangun usaha Sudah punya toko, kamera, laptop Butuh Printer, Daftar agen pulsa, skill ngeprint foto, pemodal, kawan diajak joi...