RESUME MATERI VI
& VII (ENAM & TUJUH)
ASURANSI SYARIAH
(TAKAFUL) & PRODUK ASURANSI SYARIAH
DOSEN PENGAMPU :
Dr. Nella Yantiana / Eko Bahtiar. M.E.I
MATA KULIAH :
BANK dan LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
DI SUSUN OLEH FACHRI
ADHA (1142310045)
- Pengertian,
Prinsip Dasar Operasional serta ketentuanya, Perbedaan Asuransi Syariah
dan Konvensional, Kendala Penegembangan dan Strategi Pengembangan Asuransi
Syariah.
Pengertian
dan Sejarah Asuransi Syari’ah
Dalam bahasa Arab asuransi disebut
at-ta’min, penanggung disebut mu’ammin, sedangkan tertanggung disebut mu’amman
lahu atau musta’min. At-ta’min diambil dari kata namaa memiliki arti memberi
perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut.
Sejarah berdirinya asuransi
syari’ah, perjanjian asuransi yang bertujuan untuk berbagi resiko antara
penderita musibah dan perusahaan asuransi dalam berbagai macam lapangan,
merupakan hal baru yang belum pernah dikenal dalam kehidupan Rasulullah SAW, para
sahabat dan tabi’in.
Dalam catatan sejarah dunia Barat,
dikalangan bangsa Romawi muncul gagasan melakukan perjanjian asuransi laut pada
abad 12, kemudian memencar di beberapa daerah Eropa pada abad 14. pada tahun
1680 di London berdiri asuransi kebakaran sebagai akibat peristiwa kebakaran
besar di London tahun 1666 yang melahap lebih dari 13.000 rumah dan kira-kira
100 gereja.
Pada abad 18 bermunculan perusahaan
asuransi kebakaran di beberapa negara, seperti Perancis, dan Belgia di Eropa.
Kemudian di Amerika muncul pula pada abad 19 asuransi jiwa bagi awak kapal
mulai dikenal, yang berarti pada mulanya asuransi jiwa merupakan bagian dari
asuransi laut.
Perusahaan asuransi jiwa meluas dan
berkembang pada abad 20 hingga sekarang. Perusahaan asuransi laut dan kebakaran
yang pertama kali muncul di Indonesia adalah Batavinsche Zee and Brand
Assurantie Maat Shappij, didirikan pada tahun 1843. Pada tahun1912 lahir
perusahaan asuransi jiwa Bumi Putera sebagai usaha pribumi.
Kebutuhan akan kehadiran jasa asuransi
yang berdasarkan syari’ah diawali dengan mulai beroperasinya bank-bank
syari’ah. Hal tersebut sesuai dengan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan
ketentuan pelaksanaan bank syari’ah, untuk itulah pada tanggal 27 Juli 1993,
Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) melalui gagasan Abdi Bangsa bersama
Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan perusahaan Asuransi Tugu Mandiri sepakat
memprakarsai pendirian asuransi takaful, dengan menyusun Tim Pembentukan
Asuransi Takaful Indonesia (TEPATI).
TEPATI
telah merealisasikan berdirinya PT. Syarikat Takaful Indonesia sebagai Holding
Company dan dua anak perusahaan PT. Asuransi Takaful Keluarga (asuransi jiwa)
dan PT. Asuransi Takaful umum (Asuransi Takaful Kerugian). Dibentuknya dua
perusahaan tersebut, adalah untuk mengikuti ketentuan UU No. 2 Tahun 1992
tentang usaha perasuransian, dimana perusahaan asuransi kerugian harus
didirikan secara terpisah. Tugas Holding Company selanjutnya adalah
mengembangkan keuangan syari’ah lainnya, antara lain; leasing, anjak piutang,
modal ventura, pegadaian, dan sebagainya. Dalam hal ini fungsi utama asuransi
takaful adalah sebagai Investment Company.
Pendirian
dua anak perusahaan PT. Syarikat Takaful Indonesia adalah dalam rangka
menyesuaikan dengan ketentuan yang terdapat dalam Bab III Pasal 3 UU No. 2
Tahun 1992 tentang usaha perasuransian pada poin a,b yang berbunyi:
a. Usaha asuransi kerugian yang
memberikan jasa dalam penanggulangan resiko atas kerugian, kehilangan manfaat
dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang timbul dari peristiwa yang
tidak pasti.
b. Usaha asuransi jiwa yang
memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap resiko yang dihadapi
perusahaan asuransi kerugian dan perusahaan asuransi jiwa.[1]
Prinsip Operasional Asuransi
Syariah (Takaful)
Secara
prinsip, syariah mencakup seluruh aktivitas muslim terkait perilaku baik dan
buruk serta halal dan haram. Syariah bertumpu pada iman dan akhlak serta
memiliki balasan di dunia dan akhirat. Syariah mengacu kepada Al-Quran dan
As-Sunnah Nabi Muhammad SAW, begitu juga aturan yang diterapkan dalam Asuransi
Syariah. Dalam konteks bisnis khususnya asuransi berbasis syariah, ketentuan
dalam Al-Quran dan As-Sunnah serta pendapat ulama (fiqih) diterjemahkan dalam
produk asuransi.
Dalam
konteks syariah, asuransi merupakan usaha kerjasama untuk saling melindungi dan
tolong-menolong di antara sejumlah orang dalam menghadapi musibah atau bencana
melalui perjanjian yang disepakati bersama sesuai dengan ajaran Islam.
Perjanjian yang digunakan menggunakan prinsip akad Takafuli yang artinya
tolong-menolong dengan prinsip dasar Tabarru', sedangkan pengelolaan dana
menggunakan prinsip Mudharabah melalui investasi Syariah.[2]
Perlu
diperhatikan bahwa dalam Asuransi Syariah harus sesuai dengan Syariah Islam
dengan mempertimbangkan larangan yang harus dihindari yaitu tidak mengandung
Gharar (ketidakpastian), Maysir (perjudian), Riba (bunga), barang haram dan
maksiat yang dil
Asuransi syariah berbeda dengan asuransi konvensional
tidak hanya pada tataran kemasan, tetapi lebih mendalam lagi, yaitu dalam
tataran konsep dan prinsip operasional.
Berikut adalah 9 prinsip
yang menjadi karakteristik operasional asuransi syariah.
1.
Asuransi syariah
menerapkan konsep saling menanggung dan tanggung jawab bersama. “Takaful”
artinya saling menjamin di antara anggota kelompok.
2.
Akad asuransi syariah
bukan merupakan kontrak jual-beli di mana satu pihak menawarkan dan pihak lain
bersedia membeli layanan dengan harga tertentu.
3.
Akad asuransi
syariah merupakan kesepakatan sekelompok orang untuk menjamin atau melindungi
diri mereka terhadap kemalangan atau kesusahan, yang disepakati jenisnya,
melalui pengumpulan dana bersama.
4.
Dalam hal salah satu
anggota menderita kerugian karena kemalangan atau bencana, anggota tersebut
akan menerima sejumlah uang dari dana bersama sesuai ketentuankesepakatan.
Kerugian tersebut bukanlah pemindahan tanggung jawab ke pihak lain atau pihak
perantara, sebagaimana dipraktekkan dalam asuransi konvensional.
5.
Dalam akad asuransi
syariah, para peserta adalah tertanggung sekaligus penanggung. Setiap peserta
harus membayar sejumlah kontribusi ke dalam dana bersama yang disebut “dana
takaful”. Besarnya kontribusi harus sesuai dengan tingkat risiko, yang dapat
dihitung menggunakan prinsip-prinsip ilmiah dan modern di bidang aktuaria.
6.
Untuk menghilangkan
unsur berjudi, setiap peserta harus bersedia menyisihkan dana sumbangan
(tabarru) sesuai dengan biaya risiko. Dengan demikian, santunan yang diberikan
kepada para peserta yang mengalami kemalangan/musibah berasal dari dana
sumbangan.
7.
Para peserta
asuransi syariah berhak mendapatkan surplus dana (setelah
pembayaran klaim, reasuransi, cadangan teknis dan biaya), sesuai sistem
pembagian yang disepakati. Sebaliknya, bila terjadi kekurangan dana, para
peserta juga secara kolektif bertanggung jawab menutupnya sesuai proporsi
masing-masing.
8.
Peran perusahaan
asuransi dalam asuransi syariah adalah sebagai pengelola dana takaful bagi
peserta yang ditunjuk melalui kontrak perwakilan (wakalah). Sebagai pengelola
dana, perusahaan asuransi mendapatkan imbalan dalam bentuk fee,
yaitu: management fee, performance fee (laba investasi + surplus
underwriting).
9.
Dalam hal terjadi
defisit, demi praktisnya, perusahaan asuransi syariah berkewajiban meminjamkan
modalnya untuk menutup kekurangan, tanpa bunga. Pinjaman tersebut akan ditutup
oleh surplus di masa mendatang. Besarnya modal yang dimiliki perusahaan
asuransi menentukan kapasitas underwriting dari dana takaful.[3]
Perbedaan Asuransi
Syariah (Takaful) dengan Asuransi Konvensional
No.
|
Prinsip yang Digunakan
|
Asuransi Konvensional
|
Asuransi Syariah
|
1.
|
Konsep
dan Akad yang digunakan
|
Perusahaan
asuransi (Penanggung) mengikatkan diri kepada Tertanggung dengan menerima
premi asuransi untuk tujuan proteksi dengan akad Jual Beli
(Mu'awadah, Idz'aan, Gharar, dan Mulzim)
|
Konsep
kerjasama dari sekumpulan orang untuk saling membantu, saling menjamin,
dengan cara mengeluarkan dana tabarru' (dana sosial) dengan akad Tabarru’ dan
Akad Tijarah (Mudharabah, Wakalah, Wadiah, Syirkah)
|
2.
|
Dewan
Pengawas Syariah (DPS)
|
Tidak
ada
|
Ada,
berfungsi mengawasi pelaksanaan operasional perusahaan agar sesuai dengan
prinsip syariah
|
3.
|
Sistem
Perlindungan Resiko
|
Transfer of Risk, yaitu transfer risiko dari Tertanggung
kepada Penanggung
|
Sharing of Risk, di mana terjadi proses saling
menanggung antara satu peserta dengan peserta lainnya
|
5.
|
Pengelolaan
Dana
|
Tidak
ada pemisahan dana, yang berakibat terjadinya dana hangus
|
Ada
pemisahan dana pengelola dan peserta, sehingga tidak ada dana hangus
|
6.
|
Status
Kepemilikkan Dana
|
Dana
dari premi peserta seluruhnya menjadi milik perusahaan
|
Dana
milik peserta, Asuransi Syariah hanya sebagai pemegang amanah mengelola dana
|
7.
|
Sumber
Pembayaran Klaim
|
Sumber
biaya klaim adalah rekening perusahaan
|
Sumber
biaya klaim dari rekening tabarru', di mana peserta saling menanggung
|
8.
|
Profit
|
Keuntungan
dari Surplus Underwrting, Komisi Reasuransi, dan Hasil Investasi adalah milik
perusahaan
|
Keuntungan
bukan milik perusahaan tetapi dilakukan Bagi Hasil dengan peserta
|
Jika dilihat tabel di atas, perbedaan di
antara keduanya bisa menentukan halal–haramnya suatu produk, misalnya ketika
menentukan Kontribusi Premi dan Cadangan Premi, Asuransi Konvensional
berdasarkan perhitungan bunga, sedangkan Asuransi Syariah berdasarkan Konsep
Bagi Hasil dan Skema Bagi Hasil. Prinsip Bagi Hasil: apabila akhir periode
terdapat Surplus Underwriting, maka pengelola mendapatkan persentase.[4]
Tantangan Pengembangan dan Strategi
Pengembangan Asuransi Syariah
Tantangan
terbesar yang dihadapi oleh industri asuransi syariah bersumber pada dua hal
utama yaitu permodalan dan sumber daya manusia. Tantangan-tantangan lain
seperti masalah, ketidaktahuan masyarakat terhadap produk asuransi syariah,
image dan lain sebagainya merupakan akibat dari dua masalah utama tersebut.
1.
Minimnya Modal
Beberapa
hal yang menjadi penyebab relative rendahnya penetrasi pasar asuransi syariah
dalam sepuluh tahun terakhir adalah rendahnya dana yang memback up perusahaan
asuransi syariah, promosi dan edukasi pasar yang relative belum dilakukan
secara efektif (terkait dengan lemahnya dana), belum timbulnya industri
penunjang asuransi syariah seperti broker-broker asuransi syariah, agen,
adjuster, dan lain sebagainya, produk dan layanan belum diunggulkan diatas
produk konvensional, posisi pasar yang masih ragu antara penerapan konsep
syariah yang menyeluruh dengan kenyataan bisnis di lapangan yang terkadang
sangat jauh dari prinsip syariah, dukungan kapasitas reasuransi yang masih
terbatas (terkait jua dengan dana) dan belum adanya inovasi produk dan layanan
yang benar-benar digali dari konsep dasar syariah.
2.
Kurangnya SDM yang Profesional
Terus
bertambahnya perusahaan asuransi syariah merupakan kabar baik bagi perkembangan
industri tersebut. Namun, sayangnya hal itu tidak diimbangi dengan ketersediaan
Sumber Daya Manusia (SDM) asuransi syariah yang berkualitas. Seringkali,
pembukaan cabang atau divisi asuransi syariah baru hanya didukung jumlah SDM
terbatas.
Berdasarkan
data Islamic Insurance Society (IIS) per Maret lalu, sekitar 80 persen dari
seluruh cabang atau divisi asuransi syariah belum memiliki ajun ahli syariah.
IIS mengestimasi asuransi syariah Indonesia per Maret lalu memiliki sekitar 200
cabang dan hanya didukung 30 ajun ahli syariah. Jumlah yang cukup sedikit bila
dibandingkan kondisi SDM di asuransi konvensional. Per Maret lalu, sebagian
besar cabang asuransi konvensional telah memiliki sedikitnya seorang ajun ahli
asuransi syariah. Jumlah tersebut sesuai dengan ketentuan departemen keuangan
(Depkeu).
Padahal,
keahlian ajun ahli syariah sangat dibutuhkan dalam mendorong perkembangan
inovasi produk asuransi syariah. Hal tersebut berdampak pada kurang
berkembangnya produk inovatif di industri asuransi syariah. Saat ini, sebagian
besar cabang atau divisi asuransi syariah lebih memilih untuk meniru produk
asuransi konvensional lalu dikonversi menjadi syariah (mirroring).
3.
Ketidaktahuan Masyarakat Terhadap Produk Asuransi Syariah
Ketidaktahuan
mengenai produk asuransi syariah (takaful) dan mekanisme kerja merupakan
kendala terbesar pertumbuhan asuransi jiwa ini. Akibatnya, masyarakat tidak
tertarik menggunakan asuransi syariah, dan lebih memilih jasa asuransi
konvensional.
Itulah
hasil riset Synovate mengenai alasan pemilihan asuransi syariah. Ketua Umum
Asuransi Syariah Indonesia Mohammad Shaifie Zein mengatakan, dari hasil survei
Synovate, sebagian besar responden tidak tertarik kepada asuransi jiwa syariah.
4.
Dukungan Pemerintah Belum Memadai
Meski
sudah menunjukkan eksistensinya, masih banyak kendala yang dihadapi bagi
pengembangan ekonomi syariah di Indonesia. Soal pemahaman masyarakat hanya
salah satunya. Kendala lainnya yang cukup berpengaruh adalah dukungan penuh dari
para pengambil kebijakan di negeri ini, terutama menteri-menteri dan lembaga
pemerintahan yang memiliki wewenang dalam menentukan kebijakan ekonomi.
Pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pada masa kampanye pemilu kemarin
menyatakan mendukung ekonomi syariah, belum sepenuhnya mewujudkan dukungannya
itu dalam bentuk program kerja tim ekonomi kabinetnya.
Kendala
lainnya adalah masalah regulasi. Penerapan syariah yang makin meluas dari
industri keuangan dan permodalan membutuhkan regulasi yang tidak saling
bertentangan atau tumpang tindih dengan aturan sistem ekonomi konvensional.
Para pelaku ekonomi syariah sangat mengharapkan regulasi untuk sistem ekonomi
syariah ini bisa memudahkan mereka untuk berekspansi bukan malah membatasi.
Saat ini, peraturan tentang permodalan masih menjadi kendala perbankan syariah
untuk melakukan penetrasi dan ekpansi pasar.
5.
Image
Salah
satu tantangan besar bisnis asuransi syariah di Indonesia dan negara lainnya,
menurut Zein, adalah meyakinkan masyarakat akan keuntungan menggunakan asuransi
syariah. “Perlu sekali mensosialisasikan asuransi syariah bukan saja berasal
dari agama, tetapi memperlihatkan keuntungan.” Kenyataan di lapangan
menunjukkan, bahwa para pelaku ekonomi syariah masih menghadapi tantangan berat
untuk menanamkan prinsip syariah sehingga mengakar kuat dalam perekonomian
nasional dan umat Islamnya itu sendiri.
Berdasarkan
konsep Risk Based Capital (RBC) perusahaan asuransi di Indonesia sebenarnya
dapat beroperasi dengan modal yang sangat rendah (diatas Rp 3 milyar) asal
sehat dan memenuhi Risk Based Capital diatas 120%. Asuransi syariah dalam
bentuk cabang atau divisi dari perusahaan asuransi konvensional dapat
beroperasi dengan penyisihan modal minimal Rp 2 milyar.
Kemudahan-kemudahan
permodalan ini disatu sisi baik untuk mendorong timbulnya perusahaan
asuransi/cabang/divisi syariah. Di sisi lain sebenarnya harus disadari bahwa
ketentuan minimum tersebut kurang mendorong timbulnya perusahaan asuransi yang
sehat. Struktur permodalan yang kuat sangat dibutuhkan untuk mengangkat
industri asuransi syariah. Dengan modal yang kuat perusahaan asuransi syariah
akan dapat melaksanakan fungsi-fungsi yang semestinya, antara lain edukasi
pasar melalui berbagai media komunikasi untuk menjelaskan keberadaan asuransi
syariah, keunggulannya, manfaatnya serta kebersihan dari keraguan, pengembangan
produk secara berkelanjutan, back-uo keuangan yang kokoh untuk membangkitkan
kepercayaan publik.
Untuk
Mengatasi kekurangan SDM yang Profesional dapat diatasi dengan akan mendorong
peningkatan kuantitas dan kualitas SDM asuransi syariah melalui beberapa
program sertifikasi. agar perkembangan industri didukung ketersediaan fellow
dan associate berkualitas,
Untuk
Memasyarakatkan dan Meningkatkan Asuransi syariah maka LKS harus mengembangkan
teknologi informasi yang terdepan, serta meningkatkan promosi dan sosialisasi
di segala lapisan masyarakat. Menurutnya, semua pihak harus bekerja keras untuk
memperkenalkan sistem asuransi syariah di Indonesia agar masyarakat mengetahui
ada solusi dalam pengelolaan risiko secara Islami
Pemerintah
Juga harus lebih mendukung Asuransi Syariah, para ekonom yang ada di kabinet
saat ini sebaiknya meninggalkan sistem ekonomi kapitalis dan mengikuti aturan
main kapitalis, sehingga bisa keluar dari krisis. Penerapan syariah yang makin
meluas dari industri keuangan dan permodalan membutuhkan regulasi yang tidak
saling bertentangan atau tumpang tindih dengan aturan sistem ekonomi
konvensional. Para pelaku ekonomi syariah sangat mengharapkan regulasi untuk
sistem ekonomi syariah ini bisa memudahkan mereka untuk berekspansi bukan malah
membatasi. Saat ini, peraturan tentang permodalan masih menjadi kendala
perbankan syariah untuk melakukan penetrasi dan ekpansi pasar.
Pemerintah
sebagai regulator belum mengeluarkan kebijakan di bidang asuransi syariah
sebagaimana halnya pada perbankan syariah yang memiliki UU Perbankan Syariah.
”Sekarang ini sudah ada regulasi yang memadai, tapi rasanya belum cukup. Bahkan
kalau memungkinkan asuransi juga diberikan insentif, Insentif yang diharapkan
misalnya dalam bentuk perpajakan atau bentuk lainnya. Dengan adanya insentif
dan regulasi yang memadai, diberharapkan hal tersebut dapat merangsang industri
syariah agar bisa berkembang lebih cepat. Selain pihak regulator, DSN dapat
mengeluarkan fatwa yang dapat mengakselerasi industri asuransi syariah.
Asuransi
yariah juga masih menemukan kendala dari masyarakat yang memiliki
kesalahpahaman atas asuransi syariah. ”Asuransi syariah dipandang harus murah,
mudah dan untung. Padahal asuransi juga menghitung bisnis dan laba, Sementara
itu lingkungan bisnis ekonomi saat ini yang rentan terhadap penyogokan membuat
asuransi syariah tak bisa masuk ke dalam bisnis tersebut.[5]
- Apa saja produk -
produk Asuransi Syariah (Takaful) dan Cara Menghitungnya
Produk – produk Asuransi Syariah
(Takaful)
Asuransi
syariah terdiri dari dua jenis yaitu:
a.
Takaful Keluarga (Asuransi Jiwa) adalah bentuk asuransi syariah yang
memberikan
perlindungan dalam menghadapi musibah kematian dan kecelakaan atas diri peserta
asuransi takaful.
Produk
asuransi takaful keluarga meliputi :
Takaful
berencana
Takaful
pembiayaan
Takaful
pendidikan
Takaful
dana haji
Takaful
berjangka
Takaful
kecelakaan siswa
Takaful
kecelakaan diri
Takaful
khairat keluarga
b.
Takaful Umum (asuransi Kerugian) adalah bentuk asuransi syariah yang memberikan
perlindungan finansial dalam menghadapi bencana atau kecelakaan atas harta
benda milik peserta takaful.
Produk-produk
Asuransi Takaful umum adalah :
1.
Takaful kebakaran
2.
Takaful kendaran bermotor
3.
Takaful pengangkutan
4.
Takaful Resiko Pembangunan
5.
Takaful Resiko Pemasangan
6.
Takaful Penyimpanan Uang
7.
Takaful Gabungan
8.
Takaful Aneka
9.
Takaful rekayasa/Engineering[6]
Cara perhitungan dalam produk
asuransi syariah
Ilustrasi
perhitungan adalah sebagai berikut. Seorang peserta mengambil masa
pertanggungan selama 15 tahun dengan premi sebesar Rp 1 juta pertahun. Jika
skala perhitungan sebesar 2% maka dari Rp 1 juta tersebut dipotong Rp 20 ribu
untuk dimasukkan ke rekening khusus (tabarru’), sehingga uang di rekening peserta
tinggal Rp 980 ribu setahun.Dalam jangka waktu 15 tahun akan terkumpul Rp
14.700.000. Uang yang dititipkan pada perusahaan asuransi tersebut berhak
mendapat keuntungan bagi hasil, misalnya dengan perbandingan 70:30.
Jika pada
tahun kelima angsuran, peserta meninggal dunia, maka ia akan mendapat UP.
Besarnya yaitu (5 x Rp 9,8 juta) dari rekening tabungan selama 5 tahun,
ditambah uang bagi hasil selama 5 tahun, misalnya Rp 500 ribu. Termasuk sisa premi
yang belum dibayarkan selama 10 tahun (10 x Rp 1 juta) yaitu Rp 10 juta. Dari
mana perusahaan mendapatkan uang Rp 10 juta tersebut? Uang tersebut diambil
dari rekening khusus (tabarru’).
Begitu pula
bagi peserta yang mengundurkan diri akan tetap menerima dana selama 5 tahun
dari tabungan rekening dan keuntungan bagi hasil selama tahun, misalnya Rp 500
ribu. Tapi tidak mendapat sisa premi yang belum dibayarkan selama 10 tahun.
Hal tersebut
berbeda pada asuransi konvensional.yang biasanya tidak akan mengembalikan
pembayaran premi selama masa cicilan, jika nasabah mengundurkan diri sebelum
waktu batas waktu tertentu. Pembayaran premi yang dilakukan pada nasabah yang
telah melewati batas waktu penarikan juga banyak dipotong dengan biaya
administrasi selama masa cicilan dikurangi dana lain-lain. Itu sebabnya jika
menarik dana dari asuransi konvensional sebelum masa kontrak selesai dana yang
didapat jauh lebih kecil dari nilai tabungan sebenarnya.
Contohnya,
seorang nasabah asuransi konvensional yang setuju dengan kontrak asuransi jiwa
10 tahun tiba-tiba mengundurkan diri pada tahun kedua kontrak. Padahal batas
waktu penarikan dana dari perusahaan asuransi adalah tiga tahun, maka peserta
tidak berhak mengklaim dana apa pun dari asuransi, termasuk dana dari rekening
tabungan.
Apabila
peserta menarik dana pada tahun keempat, maka dana yang akan diberikan hanya
sebesar cicilan premi tahun dikurangi biaya administrasi 4 tahun. Masih
dikurangi lagi dengan biaya pinalti yang wajib dibayarkan nasabah. Jadi nasabah
asuransi konvensional tidak akan menerima jumlah premi asuransi yang sudah
dibayarkan selama masa cicilan jika berhenti di tengah kontrak.[7]
CATATAN KAKI :
[1]
http://www.tongkronganislami.net/2016/02/jenis-dan-produk-asuransi-syariah-takaful-islami.html
[2]
https://www.cermati.com/artikel/asuransi-syariah-jenis-produk-dan-ketentuan-menggunakannya
[3]
http://www.asuransi-allianz.id/2013/03/9-prinsip-operasional-asuransi-syariah.html
[4]
https://www.cermati.com/artikel/asuransi-syariah-jenis-produk-dan-ketentuan-menggunakannya
[5]
http://irfan-kurniadi.blogspot.co.id/2010/05/asuransi-syariah-prospek-tantangan-dan.html
[6]
http://emka.web.id/special/2016/jenis-jenis-asuransi-syariah/
[7]
http://www.caraklaim.com/2016/05/bagi-hasil-premi-asuransi-syariah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar