RESUME
MATERI IV (EMPAT)
BANK PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH
DOSEN PENGAMPU : Dr. Nella Yantiana /
Eko Bahtiar. M.E.I
MATA KULIAH : BANK dan LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
DI SUSUN
O
L
E
H
FACHRI ADHA
(1142310045)
SEMESTER / KELAS: VI/A
FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
JURUSAN PERBANKAN SYARI’AH
PONTIANAK 2016/2017
INDIKATOR MATERI
VI (BANK PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH) ada 3 (tiga) yaitu: 1. Sejarah, Tujuan,
Usaha Bank Perkreditan Rakyat Syariah; 2. Ketentuan – ketentuan dalam pendirian
organisasi BPR Syariah; 3. Kendala dan strategi pengembangan BPR Syariah
·
Sejarah, Tujuan, Usaha Bank Perkreditan Rakyat
Syariah
PENGERTIAN
Bank Perkreditan
Rakyat Syariah (BPR-Syariah) adalah salah satu lembaga keuangan perbankan
syariah, yang pola operasionalnya mengikuti prinsip–prinsip syariah ataupun
muamalah islam.
BPRS berdiri
berdasarkan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Peraturan Pemerintah (PP)
No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Pada pasal 1
(butir 4) UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1992
tentang Perbankan, disebutkan bahwa BPRS adalah bank yang melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa
dalam lalu lintas pembayaran.
BPR yang melakukan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah selanjutnya diatur menurut Surat
Keputusan Direktur Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR/1999 tanggal 12 Mei 1999
tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah. Dalam hal ini,
secara teknis BPR Syariah bisa diartikan sebagai lembaga keuangan sebagaimana
BPR konvensional, yang operasinya menggunakan prinsip-prinsip syariah terutama
bagi hasil.[1]
SEJARAH
Istilah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dikenalkan
pertama kali oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) pada akhir tahun 1977, ketika BRI
mulai menjalankan tugasnya sebagai Bank pembina lumbung desa, bank pasar, bank
desa, bank pegawai dan bank-bank sejenis lainnya. Pada masa pembinaan yang
dilakukan oleh BRI, seluruh bank tersebut diberi nama Bank Perkreditan Rakyat
(BPR).
Menurut Keppres No. 38 tahun 1988 yang dimaksud dengan
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah jenis bank yang tercantum dalam ayat (1)
pasal 4 UU. No. 14 tahun 1967 yang meliputi bank desa, lumbung desa, bank
pasar, bank pegawai dan bank lainnya.
Status hukum Bank Perkreditan Rakyat (BPR) pertama
kali diakui dalam pakto tanggal 27 Oktober 1988, sebagai bagian dari Paket
Kebijakan Keuangan, Moneter, dan perbankan. Secara historis, BPR adalah
penjelmaan dari beberapa lembaga keuangan, seperti Bank Desa, Lumbung Desa,
Bank Pasar, Bank Pegawai Lumbung Pilih Nagari (LPN), Lembaga Perkreditan Desa
(LPD), Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha
Rakyat Kecil (KURK), Lembaga perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Desa
(BKPD) dan atau lembaga lainnya yang dapat disamakan dengan itu. Sejak dikeluarkannya
UU No. 7 tahun 1992 tentang Pokok Perbankan, keberadaan lembaga-lembaga
keuangan tersebut status hukumnya diperjelas melalui ijin dari Menteri
Keuangan.
Dalam perkembangan selanjutnya perkembangan BPR yang
tumbuh semakin banyak dengan menggunakan prosedur-prosedur Hukum Islam sebagai
dasar pelaksanaannya serta diberi nama BPR Syariah. BPR Syariah yang pertama
kali berdiri adalah adalah PT. BPR Dana Mardhatillah, kec. Margahayu, Bandung,
PT. BPR Berkah Amal Sejahtera, kec. Padalarang, Bandung dan PT. BPR Amanah
Rabbaniyah, kec. Banjaran, Bandung. Pada tanggal 8 Oktober 1990, ketiga BPR
Syariah tersebut telah mendapat ijin prinsip dari Menteri Keuangan RI dan mulai
beroperasi pada tanggal 19 Agustus 1991.
Selain itu, latar belakang didirikannya BPR Syariah
adalah sebagai langkah aktif dalam rangka restrukturasi perekonomian Indonesia
yang dituangkan dalam berbagai paket kebijakan keuangan, moneter, dan perbankan
secara umum.
Secara khusus mengisi peluang terhadap kebijakan bank
dalam penetapan tingkat suku bunga (rate of interest) yang selanjutnya secara
luas dikenal sebagai sistem perbankan bagi hasil atau sistem perbankan Islam
dalam skala outlet retail banking (rural bank).
UU No.10 Tahun 1998 yang merubah UU No.7 Tahun 1992
tentang Perbankan nampak lebih jelas dan tegas mengenal status perbankan
syariah, sebagaimana disebutkan dalam pasal 13, Usaha Bank Perkreditan Rakyat.
Pasal 13 huruf C berbunyi : Menyediakan pembiayaan dan penempatan dana
berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh BI.
Keberadaan BPRS secara khusus dijabarkan dalam bentuk
SK Direksi BI No. 32/34/Kep/Dir, tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum
berdasarkan Prinsip Syariah dan SK
Direksi BI No. 32/36/Kep/Dir, tertanggal 12 Mei 1999 dan Surat Edaran BI No.
32/4/KPPB tanggal 12 Mei 1999 tentang Bamk Perkreditan Rakyat Berdasarkan
Prinsip Syariah.
Perkembangan bank syariah dari awal keberadaannya
hingga November 2001 terdapat 81 BPRS.
BPRS tersebut distribusi jaringan kantor tersebar pada 18 provinsi yang beradadi
Indonesia.[2]
TUJUAN
PENDIRIAN BPRS
Terdapat beberapa tujuan yang dikehendaki dari
berdirinya Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Di bawah ini disampaikan
tujuan-tujuan tersebut beberapa sumber hanya menyebutkan butir-butirnya saja
(Sudarsono, 2004:85; Sumitro, 1997:111), keterangan tiap-tiap butir ditambahkan
oleh penulis.
Meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat Islam terutama
kelompok masyarakat ekonomi lemah yang pada umumnya berada di daerah pedesaan.
Sasaran utama dari BPRS adalah umat Islam yang berada di pedesaan dan di
tingkat kecamatan. Masyarakat yang berada di kawasan tersebut pada umumnya
ternasuk pada masyarakat golongan ekonomi lemah.
Kehadiran BPRS bisa menjadi sumber permodalan bagi
pengembangan usaha-usaha masyarakat golongan ekonomi lemah, sehingga pada
gilirannya dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahtertaan mereka.
Menambah lapangan kerja terutama di tingkat kecamatan,
sehingga dapat mengurangi arus urbanisasi. Kehadiran BPRS di
kecamatan-kecamatan ikut memberikan kesempatan kerja bagi masyarakat yang
memiliki potensi perbankan, baik dalam permodalan maupun dalam hal tenaga ahli.
Sehingga semakin banyaknya BPRS di kecamatan-kecamatan maka akan semakin banyak
pula tenaga yang terserap disektor perbankan. Selain itu, pembiayaan-pembiayaan
yang disalurkan BPRS bagi masyarakat membuka peluang usaha dan kerja yang
semakin luas, maka pada gilirannya kehadiran BPRS akan menjadi penghambat bagi
lajunya urbanisasi.
Membina ukhuwah Islamiyah melalui kegiatan ekonomi
dalam rangka peningkatan pendapatan per kapita menuju kualitas hidup yang
memadai. Hal ini mengandung makna bahwa dalam BPRS ditumbuhkan nilai ta’awun
(saling membantu) antara pemilik modal dengan pemilik pekerjaan. Dengan nilai
ta’awun inilah akan tumbuh kebersamaan antara bank dan nasabah yang merupakan
faktor terpenting dalam mewujudkan Ukhuwah Islamiyah. Melalui kebersamaan
tersebut usaha-usaha yang yang dilakukan masyarakat dengan modal yang diberikan
oleh BPRS bisa meningkatkan pendapatan masyarakat, maka pada tingkat yang lebih
tinggi akan pula meningkatkan perkapita baik lokal maupun nasional.
Djazuli dan Yadi Janwari menjabarkan tiga tujuan
diatas menjadi lima tujuan, yaitu (Djazuli, 2002: 108)
Meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat Islam,
terutama masyarakat golongan ekonomi lemah yang pada umumya berada di daerah
pedesaan.[3]
Meningkatkan pendapatan per kapita
Menambah lapangan kerja terutama di tingkat kecamatan.
Mengurangi urbanisasi.
Membina semangat Ukhuwah Islamiyah melalui kegiatan
ekonomi.
Untuk mencapai tujuan operasionalnya Bank Perkreditan
Rakyat Syariah (BPRS) tersebut diperlukan strategi operasional. Pertama, Bank
Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) tidak bersifat menunggu terhadap datangnya
permintaan fasilitas, melainkan bersifat aktif dengan melakukan
sosialisasi/penelitian kepada usaha-usaha yang berskala kecil yang perlu
dibantu tambahan modal, sehingga memiliki prospek bisnis yang baik. Kedua, Bank
Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) memiliki jenis usaha yang waktu perputaran
uangnya jangka pendek dengan mengutamakan usaha skala menengah dan kecil.
Terakhir, Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) mengkaji pangsa pasar, tingkat
kejenuhan serta tingkat kompetitifnya produk yang akan diberi pembiayaan.
Sebagai lembaga keuangan syariah pada dasarnya Bank
Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dapat memberikan jasa-jasa keuangan yang
serupa dengan bank-bank umum syariah. Namun demikian, sesuai UU Perbankan No.
10 tahun 1998, BPR Syariah hanya dapat melaksanakan usaha-usaha sebagai
berikut:
Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
berupa deposito berjangka, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu.
Memberikan kredit.
Menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan
prinsip syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank
Indonesia, deposito berjangka, sertifikat deposito, dan atau tabungan pada bank
lain.
Kegiatan yang
dilarang BPR Syariah (Berdasarkan pasal 14 UU No.17 tahun 1992)
Menerima simpanan dalam bentuk giro dan ikut serta
dalam lalu lintas pembayaran
Melakukan kegiatan usaha dalam bentuk valuta asing
Melakukan penyertaan modal
Melakukan usaha perasuransian
Melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha
sebagaimana disebutkan pada kegiatan usaha yang boleh dilakukan oleh BPRS.[4]
- Ketentuan
– ketentuan dalam pendirian organisasi BPR Syariah
Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam pendirian
BPRS :
Persyaratan Umum
Memperoleh izin dari Menkeu RI dengan pertimbangan
BI
Bentuk badan hukum BPRS, perusahaan daerah, koperasi
dan PT
Didirikan dan dimiliki oleh Pemda, koperasi dan PT
Tempat kedudukan BPRS di kecamatan di luar ibu kota
negara, ibu kota Dati I dan Dati II
Wilayah pelayanan mencakup desa – desa dan perkotaan
di satu wilayah kecamatan kedudukan BPRS
Usaha meliputi tabungan dan deposito berjangka dan
memberikan kredit kepada pengusaha kecil
Modal disetor minimal Rp 50.000.000,-
Penanaman modal aktiva tidak boleh melebihi 50% dari
modal sendiri
Mayoritas direksi harus berpengalaman dalam
operasional bank minimal satu tahun
Permohonan Izin Arsip
BPRS berbentuk PT
Siapkan modal disetor minimal Rp 15.000.000,- atau 30% dari total modal disetor
Siapkan minimal dua nama yang akan dipakai BPRS dan
selanjutnya minta persetujuan ke Departemen Kehakiman
BPRS tidak berbentuk PT
Menyesuaikan diri dengan ketentuan yang telah digariskan
oleh departemen terkait.
Permohonan izin
arsip
Mengajukan permohonan tertulis ke Menkeu RI dengan
melampirkan :
Rencana akte pendirian dan AD BPRS
Rencana kerja BPRS pada tahun pertama
Daftar calon direksi, dewan komisaris dan pengawas
Syariah
Photocopy bukti setoran sebesar Rp 15.000.000,- pada
rekening Menkeu pada bank pemerintah.
Permohonan Izin
Usaha
Mengajukan permohonan izin usaha dan diajukan ke
Menkeu RI dengan melampirkan
Photocopy bukti setoran sebesar Rp 35.000.000,- pada
rekening Menkeu pada bank pemerintah
Copy AD BPRS yang telah disahkan Menteri Kehakiman
RI
Photocopy NPWP BPRS
Menyampaikan prosedur dan sisitem tata kerja BPRS
disertai warkat yang akan digunakan
Mengirimkan data pengurus BPRS
Photocopy situasi dan kondisi perkantoran dan
peralatan BPRS
Persiapan Pra
Operasional BPRS
BPRS yang telah memperoleh izin usaha harus ke Pemda
setempat untuk memperoleh WDP ( Wajib Daftar Perusahaan) dan SITU ( Surat Izin
tempat Usaha), serta harus telah melakukan kegiatan operasionalnya selambat –
lambatnya tiga bulan sejak dikeluarkannya izin dimaksud. BPRS pun harus
melakukan market development serta membuat brosur produk bank dan mempersiapkan
logo bank.
Laporan Pembukuan
Laporan pembukuan BPRS pada hari pertama operasi
harus dilaporkan kepada BI setempat dengan melampirkan Neraca Awal.[5]
- Kendala
dan strategi pengembangan BPR Syariah
Kendala BPR
SYARIAH
Dan Lembaga/departemen yang
berperan dalam Inkubator Bisnis antara lain Kementerian Koperasi dan UKM, Badan
Penelitian dan Pengkajian Teknologi (BPPT) Kementerian Riset dan Teknologi
serta Departemen Pendidikan Nasional.
Sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan, BPR Syariah harus berdasarkan prinsip syariah Islam dalam
menjalankan kegiatan operasionalnya sebagaimana digariskan dalam Al-Qur’an dan
hadits. Dalam penerapannya, produk perbankan syariah dirumuskan dan memperoleh
persetujuan dari Dewan Syariah Nasional (DSN) sebagai lembaga yang ditetapkan
pemerintah untuk merekomendasikan produk perbankan syariah telah sesuai dengan
ketentuan syariah. Dalam menjalankan kegiatan usahanya, bank syariah khususnya
BPRS masih memerlukan penyempurnaan, terutama dalam melaksanakan
ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip syariah secara utuh.
Hal ini dirasakan seperti dalam
penerapan produk piutang murabahah, dimana perjanjian antara bank dengan
nasabah terkait dengan perjanjian jual beli atas sesuatu barang untuk nasabah.
Pihak bank telah mempelajari dengan seksama pengajuan permintaan kebutuhan
barang untuk mendukung kegiatan nasabah, menyetujui permintaan nasabah untuk
membeli barang dan menjual kepada nasabah dengan harga sesuai dengan harga
pokok penjualan ditambah margim keuntungan yang diminta pihak bank.
Dalam pelaksanaannya, BPRS
mengalami kesulitan dalam memenuhi ketentuan fatwa DSN ketika dalam transaksi
piutang murabahah pihak bank masih memberikan uang bukan barang, lalu
mempercayakan kepada nasabah untuk membeli barang yang dikehendaki sesuai jenis
dan spesifikasi yang telah disepakati.
Hal ini masih terkesan bahwa BPRS
memberikan pinjaman uang dan bukan membelikan barang. Kesulitan teknis pada
transaksi pembelian barang sesuai kebutuhan nasabah yang melibatkan pihak
ketiga/supplier diharapkan dapat diminimalisir dengan terjalinnya kerjasama
dengan pihak ketiga/supplier sebagai mitra usaha BPRS dalam menyediakan
barang-barang kebutuhan nasabah. Namun, kendala dan permasalahan tersebut
diharapkan dapat teratasi manakala ada komitmen yang kuat dari stakeholders pengurus
bank untuk secara konsisten dan istiqamah menjalankan kegiatan usaha dan
perjanjian sesuai syariah Islam dan sesuai fatwa DSN.
Pelaksanaan kegiatan usaha BPRS
secara kaffah sesuai syariah Islam mutlak dilakukan, karena justru dengan
demikian kepercayaan masyarakat kepada perbankan syariah akan semakin
meningkat, bukan sebaliknya. Menganggap pelaksanaan kegiatan usaha bank syariah
sama dengan kegiatan usaha bank konvensional.
Sangat tepat jika cetak biru
perkembangan perbankan syariah yang disiapkan oleh biro Perbankan Syariah Bank
Indonesia telah menggariskan kebijakan stategis dan objektif sampai tahun 2004,
yakni mendorong perbankan syariah untuk mematuhi dan melaksanakan kegiatan
operasional sesuai syariah secara konsisten.
Dalam presefktif syariah, jika
kegiatan usaha perbankan syariah dilaksanakan semata-mata sesuai ketentuan
syariah, maka diharapkan usaha tersebut akan memperoleh ridho dari Allah SWT
dan memberikan kemaslahatan bagi seluluh umat.
Selain itu dalam pertumbuhannya
juga, operasionalisasi perbankan syariah masih bertumpu pada aturan-aturan yang
diterapkan dalam bank konvensional karena industri perbankan konvensional telah
berkembang selama 3 abad dan perbankan
syariah baru tumbuh dalam tiga dekade terakhir. Walaupun disadari bahwa
perbankan syariah berbeda secara sistem dari bank konvensional, baik menyangkut
sistem operasional dan beberapa produk perbankan yang sangat spesifik terkait
dengan syariah Islam. Dalam perbankan konvensional peminjaman uang dalam bentuk
kredit dengan mengambil bunga tertentu diperbolehkan, namun untuk bank syariah
peminjaman uang tidak boleh ada nilai lebih.
Artinya jika nasabah diberi
pinjaman seribu rupiah maka harus kembali seribu rupiah, tidak boleh ada lebih,
karena kelebihan pembayaran tersebut dikategorikan riba. Hal-hal semacam ini
menunjukkan perlakukan yang berbeda sekaligus membutuhkan pemahaman atas
pengawasan yang berbeda.
Regulasi sistem pengawasan atas
bank syariah masih banyak mendasarkan pada pola bank konvensional. Kondisi ini
tidak dapat sepenuhnya disalahkan karena perkembangan bank syariah tidak mulus.
Bank Syariah pertama dimulai di Mesir pada tahun 1963 dalam bentuk bank
tabungan pedesaan dan ditutup tahun 1973 karena alasan politis. Di Pakistan
didirikan bank koperasi dengan dasar syariah namun pada bulan Juni 1965 bank
tersebut ditutup disebabkan karena salah dalam pengelolaan dan kurangnya supervisi
resmi. Baru pada tahun 1975, Dubai Islamic Bank menjadi pelopor dalam peletakan
awal sendi-sendi perbankan syariah di dunia. Setelah pendirian tersebut,
tercatat sampai akhir tahun 1996 telah didirikan lebih dari 166 lembaga
keuangan syariah atas prakarsa swasta maupun pemerintah (Chapra,2001:228-229).
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia juga tidak terlepas dari
perkembangan perbankan syariah internasional. Sejak adanya perbaikan dalam
undang-undang perbankan pasca Undang-Undang No.10 Tahun 1998 menunjukkan
peningkatan yang sangat pesat. Hal tersebut ditunjukkan dengan asset bank
syariah pada tahun 1993 sebesar Rp460 miliar, tahun 1998 sebesar Rp600 miliar
dan pada September 2004 telah menjadi Rp12 triliun (Idat:2005).
Dibalik perkembangan aset yang
menggembirakan tersebut, terdapat kekhawatiran bahwa perkembangan perbankan
syariah merupakan suatu eforia reformasi. Eforia perkembangan yang pesat
merupakan perkembangan yang semu dan berbahaya bila tidak dilandasi kerangka
kelembagaan dan pengaturan yang memadai dari aspek best practices. Kerangka
kelembagaan dan pengaturan yang tidak memadai rentan terhadap berbagai bentuk
kejahatan yang senantiasa mengintai industri perbankan nasional.
Sejarah pengaturan dan pengawasan
perbankan di Indonesia tidak terlepas dari adanya keinginan untuk mengembangkan
perbankan nasional sekaligus untuk menanggulangi kejahatan perbankan yang
menyertainya.
Pengawasan bank melalui audit
terhadap bank pemerintah dilakukan berlapis-lapis oleh Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Kantor Akuntan
Publik termasuk oleh Bank Indonesia (BI) sendiri. Namun, mengapa dengan berbagai
upaya tersebut, pembobolan yang mencolok mata tetap terjadi.Pembobolan Bank BNI
melalui transaksi L/C fiktif, yang nilainya mencapai di atas Rp1 triliun,
terjadinya permainan atau pemalsuan dokumen NCD (Negotiable Certificate
Document) di Bank Mandiri, merefleksikan pengawasan bank yang belum berjalan
sebagaimana mestinya (Bisnis Indonesia, 27/10/2003).
Fakta-fakta di atas menimbulkan
pertanyaan apakah Bank Indonesia sebagai pengatur bank di Indonesia mampu
melakukan pengaturan yang efektif terhadap perbankan syariah. Kasus-kasus
kejahatan perbankan seperti di atas, bukan tidak mungkin dapat menimpa
perbankan syariah. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa penelitian dan kajian
manajemen risiko bukan hanya untuk BI tetapi juga untuk manajemen bank itu sendiri.
Perlu usaha bersama dari berbagai pihak agar di dapatkan model manajemen risiko
yang lebih sesuai dengan bank syariah.[6]
STRATEGI
PENGEMBANGAN BPR SYARIAH
Dalam rangka meningkatkan dan
mengembankan kegiatam dan pelaksanaan yang ada dalam badan usaha BPR syariah maka suatu badan dari
BPR syariah menyelengarakan dan membentuk suatu kegiatan yang dapat
meningkatkan BPR syariah yakni dengan memberikan pelatihan, pendidikan dan
tehnical asissistance untuk BPR syariah yang akan tumbuh.
Hingga saat ini minimal sudah
terbentuk 2 yayasan yang turut serta dalam pengembangan kegiatan BPR syariah
anatara lain :
IESD (institute
for syariah economic development)
Dalam hal ini secara
bebrkesinambungan IESD akan terus melakanakan program pendirian/ pemberian
bantuan teknis kepada BPR syariah di Indonesia khsusunya daerah potensial umat
islam. Dan ada beberapa program yang yang telah dilaksanakan yakni berupa
teknis bagi pendirian BPR syariah diberbagai tempat di Indonesia.
Badan yang yang
membantu dalam kegiatan yayasan pendidikan dan pengembangan bank syariah (YPBS)
Merupakan suatu bentuk kerja sama
antara bank muamalat Indonesia dengan ICMI. Yayasan ini dibentuk dalam rangka
membantu perkembangan dan mengembangkan BPR syariah di seluruh tanah air.
Kegiatan – kegiatan YPBS antara lain :
pendidikan baik basic untuk para
sarjana yang baru lulus dari perguruan tinggi, maupun intermediate bagi para
praktisi yang telah memiliki minimal 2 tahun pengalaman di sector perbankan.
Membantu proses pendirian.
Memberikan technical assistance.
Selain dari beberapa usaha yang
telah dilakukan diatas ada hal lain yang di usahakan untuk meningkatkan
kegiatan operasional dalam BPR syariah yang berkaitan dengan pendidikan yakni
berupa pengembangan inkubasi bisnis (INBIS)
Pengembangan
Inkubasi Bisnis (INBIS)
Berdasarkan riset yang dilakukan
Bank Indonesia, Pengembangan INBIS melibatkan perguruan tinggi sebagai upaya
mempersiapkan perguruan tinggi menuju entrepreneurial university melalui
pengembangan budaya kewirausahaan dengan cara :
a. Menumbuh
kembangkan budaya kewirausahaan di lingkungan perguruan tinggi.
b.
Mewujudkan sinergi potensi perguruan tinggi dengan potensi dunia usaha
sehingga dapat menumbuhkembangkan IPTEK
sesuai kebutuhan.
c.
Mendorong pemanfaatan potensi bisnis akademik dan nonakademik yang
bernilai komersial.
d.
Meningkatkan peluang keberhasilan wirausaha baru melalui kegiatan
pelayanan konsultasi terpadu.
e. Menumbuh
kembangkan kegiatan-kegiatan yang mendorong terwujudnya unit-unit usaha sebagai
sumber pendapatan (income generating unit) di perguruan tinggi dalam mengantisipasi
otonomi perguruan tinggi.[7]
DAFTAR PUSTAKA
[1]
https://acankende.wordpress.com/2010/11/28/bank-perkreditan-rakyat-bpr-syariah/
[2]
https://acankende.wordpress.com/2010/11/28/bank-perkreditan-rakyat-bpr-syariah/
[3]
https://acankende.wordpress.com/2010/11/28/bank-perkreditan-rakyat-bpr-syariah/
[5]
https://acankende.wordpress.com/2010/11/28/bank-perkreditan-rakyat-bpr-syariah/
[6]
https://acankende.wordpress.com/2010/11/28/bank-perkreditan-rakyat-bpr-syariah/
[7]
https://acankende.wordpress.com/2010/11/28/bank-perkreditan-rakyat-bpr-syariah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar