Rabu, 29 Maret 2017

RESUME BPR SYARIAH

RESUME
MATERI IV (EMPAT)
BANK PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH
DOSEN PENGAMPU : Dr. Nella Yantiana / Eko Bahtiar. M.E.I
MATA KULIAH : BANK dan LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
DI SUSUN
O
L
E
H
HAJIJAH
(1142310083)


SEMESTER / KELAS: VI/A
FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
JURUSAN PERBANKAN SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PONTIANAK 2016/2017

INDIKATOR MATERI VI (BANK PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH) ada 3 (tiga) yaitu: 1. Sejarah, Tujuan, Usaha Bank Perkreditan Rakyat Syariah; 2. Ketentuan – ketentuan dalam pendirian organisasi BPR Syariah; 3. Kendala dan strategi pengembangan BPR Syariah
  • Sejarah, Tujuan, Usaha Bank Perkreditan Rakyat Syariah
PENGERTIAN
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menurut pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Perbankan No.7 Tahun 1992, adalah lembaga keuangan yang menerima simpanan uang hanya dalam bentuk deposito berjangka tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dalam bentuk itu dan menyalurkan dana sebagai usaha BPR. Sedangkan menurut pasal 1 ayat 4 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998, BPR adalah lembaga keuangan bank yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah. Dengan demikian, Bank Perkreditan Rakyat Syariah dapat diartikan sebagai sebuah lembaga keuangan sebagaimana Bank Perkreditan Rakyat yang konvensional, yang operasionalnya memakai prinsip-prinsip syariah.[1]
SEJARAH BERDIRINYA BPR SYARIAH
BPR merupakan penjelmaan dari Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai Lumbung Nagari (LPN), Lembaga perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Desa (BKD), Bada Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), dan atau lembaga lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu (Subagyo, 2002).
Lembaga-lembaga keuangan yang disebutkan merupakan lembaga yang berpengaruh atas berdirinya BPR Syariah, keberadaan lembaga keuangan tersebut memunculkan pemikiran untuk mendirikan Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang berdiri pada tahun 1992, namun pada kenyatannya cakupan wilayah untuk BMI sangat terbatas pada wilayah tertentu seperti kecamatan, kabupaten, dan desa. Maka dalam hal ini diperlukan adanya BPR untuk menangani masalah keuangan di wilayah-wilayah yang tidak dijangakau oleh BMI.
Pada awalnya ditetapkan tiga lokasi untuk mendirikan BPR Syariah, yaitu PT BPR Dana Mardhatillah di Kecamatan Margahayu-Bandung, PT BPR Berkah Amal Sejahtera di Kecamatan Padalarang-Bandung, dan PT BPR Amanah Rabbaniyah di Kecamatan Banjaran-Bandung. Ketiga BPR tersebut mendapatkan izin prinsip Menteri Keuangan RI pada tanggal 8 Oktober 1990 (Heri Sudarsono, 2008).[2]
TUJUAN DIDIRIKAN BPR SYARIAH
Tujuan didirikannya BPR Syariah adalah (Warkum Sumitro, 2002):
a.   Meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat Islam terutama kelompok masyarakat lemah yang pada umumnya berada di daerah pedesaan.
b.   Menambah lapangan kerja terutama di tingkat kecamatan, sehingga dapat mengurangi arus urbanisasi.
c.   Membina ukhuwah Islamiyah melalui kegiatan ekonomi dalam rangka peningkatan pendapatan per kapita menuju kualitas hidup yang memadai.
Djazuli dan Yadi Janwari menjabarkan tiga tujuan diatas menjadi lima tujuan, yaitu (Djazuli, 2002):
a.   Meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat Islam, terutama masyarakat golongan ekonomi lemah yang pada umumya berada di daerah pedesaan.
b.   Meningkatkan pendapatan per kapita
c.   Menambah lapangan kerja terutama di tingkat kecamatan.
d.   Mengurangi urbanisasi.
e.   Membina semangat Ukhuwah Islamiyah melalui kegiatan ekonomi.
Untuk mencapai sebuah tujuan, diperlukan adanya strategi operasional, yaitu (Warkum Sumitro, 2002):
a.   BPR syariah tidak bersifat menunggu (pasif) terhadap datangnya permintaan fasilitas, melainkan bersifat aktif dengan melakukan solisitasi/penelitian kepada usaha-usaha yang berskala kecil yang perlu dibantu tambahan modal, sehingga memiliki prospek bisnis yang baik.
b.   BPR Islam memiliki jenis usaha yang waktu perputaran uangnya jangka pendek dengan mengutamakan usaha skala kecil menengah.
c.   BPR mengkaji pangsa pasar, tingkat kejenuhan serta tingkat kompetitifnya produk yang akan diberi pembiayaan.[3]
KEGIATAN USAHA BPR SYARIAH
Berdasarkan Undang-Undang Perbankan Nomor 10 tahun 1998, kegiatan usaha BPR Syariah melingkupi (Burhanudin Susanto, 2008):
a)   Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
b)   Memberikan kredit.
c)   Menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah.
d)   Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito, dan atau tabungan pada bank lain.
Pembatasan usaha BPR Syariah syariah secara tegas dijelaskan dalam pasal 27 SK Direktur BI Nomor 32/36/1999. Menurut surat keputusan ini, kegiatan operasional BPR syariah adalah:
a.   Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang meliputi:
a)   Tabungan berdasarkan prinsip wadiah atau mudharabah.
b)   Deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah.
c)   Bentuk lain yang menggunakan prinsip wadiah atau mudharabah.
b.   Melakukan penyaluran dana melalui:
a)   Transaksi jual-beli berdasarkan prinsip:
•     Mudharabah
•     Istishna
•     Ijarah
•     Salam
•     Jual beli lainnya.
b)   Pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip:
•     Mudharabah
•     Musyarakah
•     Bagi hasil lainnya
c)   Pembiayaan lain berdasarkan prinsip:
•     Rahn
•     Qardh
c.   Melakukkan kegiatan lain yang lazim dilakukan BPR Syariah sepanjang disetujui oleh Dewan Syariah Nasional.
Keterangan lebih lanjut tentang kegiatan usaha BPR Syariah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 6/17/PBI/2004. Namun pada dasarnya, kegiatan operasional BPR Syariah lebih terbatas jika dibanding dengan bank umum syariah. Hal ini dapat dilihat dalam SK Direktur BI No. 32/36/KEP/DIR/1999. Sedangkan kegiatan yang dilarang yaitu:
1.   Melakukan kegiatan usaha dalam bentuk valuta asing
2.   Melakukan penyertaan modal
3.   Melakukan usaha perasuransian[4]
  • Ketentuan – ketentuan dalam pendirian organisasi BPR Syariah
a.   Syarat Pendirian
Dalam mendirikan BPR Syariah harus mengacu pada ketentuan hukum yang telah ditetapkan pada Undang-Undang Perbankan. Sesuai dengan pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, bentuk badan hukum pendirian BPR Syariah dapat berupa salah satu dari perusahaan daerah, koperasi atau perseroan terbatas.
Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia Nomor 32/36.KEP/DIR/1999, pendirian BPR Syariah harus menenuhi persyaratan sebagai berikut:
a)   BPR Syariah hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dengan ijin Direksi Bank Indonesia;
b)   BPR Syariah hanya didirikan dan dimiliki oleh:
•     Warga Negara Indonesia
•     Badan hukum Indonesia yang seluruh kepemilikannya oleh Warga Negara Indonesia
•     Pemerintah Daerah
•     Dua atau lebih pihak dari pihak-pihak di atas.
Sebagai tindak lanjut dari peraturan perundang-undangan ketentuan terbaru mengenai tata cara pendirian dan kegiatan usaha BPR Syariah diatur dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia No.8/25/PBI/2006 tentang perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No.8/17/PBI/2004 tentang bank perkreditan rakyat berdasarkan prinsip Syariah (Burhanuddin Susanto, 2008).
b.   Persetujuan prinsip dan izin usaha
Pemberian izin pendirian BPR Syariah dapat dilakukan melalui dua tahap, antara lain persetujuan prinsip yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian BPR Syariah, dan izin usaha yaitu izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan usaha BPR syariah setelah persiapan persetujuan prinsip dilakukan.
c.   Kepemilikan dan modal
Untuk mendirikan dan memiliki BPR Syariah berdasarkan pasal 4 Peraturan Bank Indonesia No. 6/17/PBI/2004 modal yang harus disetor adalah:
a)   Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk BPR Syariah yang didirikan di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya dan Kabupaten/Tanggerang, Bogor, Depok, dan Bekasi;
b)   Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk BPR Syariah yang didirikan di wilayah ibukota provinsi di luar wilayah tersebut pada huruf di atas;
c)   Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk BPR Syariah yang didirikan di luar wilayah tersebut pada huruf a dan huruf b di atas.
d.   Kepengurusan
Kepengurusan BPR Syariah terdiri dari direksi dan dewan komisaris. Untuk menjalankan fungsi pengawasan dalam pelaksanaan prinsip syariah, BPR Syariah diwajibkan membentuk dan memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS).[5]
  • Kendala dan strategi pengembangan BPR Syariah
Adapun strategi pengembangan BPR Syariah yang perlu diperhatikan, yaitu:
a.   Sosialisasi BPR Syariah, bukan hanya dari produknya, tetapi juga sistem yang digunakan. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan informasi melalui media masa. Selain itu, BPR juga bisa bersosialisasi melalui bekerjasama dengan lembaga pendidikan atau non-pendidikan yang mempunyai relevansi dengan visi dan misi BPR SYARIAH.
b.   Mengadakan pelatihan-pelatihan mengenai lembaga keuangan syariah sebagai wujud meningkatkan kualitas SDM. Hal ini bisa dilakukan melalui kerjasama dengan lembaga pendidikan untuk membuka pusat pendidikan lembaga keuangan syariah atau kursus pendek (shortcourse) lembaga keuangan syariah.
c.   Pemetaan potensi dan optimasi ekonomi daerah. Hal ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan BPR SYARIAH mengelola sumber-sumber ekonomi yang ada. Dengan cara itu pula dapat dilihat kesinambungan kerja di antara BPR SYARIAH, demikian juga kesinambungan kerja BPR syariah dengan bank syarkah dan BMT.
d.   Mengadakan kegiatan rutin keagamaan sebagai wujud meningkatkan kesadaran masyarakat akan peran Islam dalam bidang ekonomi. hal ini pun dapat membantu dalam mengetahui gejala-gejala ekonomi-sosial yang ada.[6]
KENDALA PERKEMBANGAN BPR SYARIAH
a.   kiprah BPR Syariah kurang dikenal masyarakat sebagai BPR yang berprinsipkan syariah. Bahkan masih ada anggapan bahwa BPR Syariah itu sama saja dengan BPR konvensional.
b.   Sulitnya meningkatkan profesionalitas karena terhalang oleh sumber daya yang ada. Sehingga mengakibatkan lambatnya respon terhadap permasalahan ekonomi yang muncul.
c.   Kurang adanya koordinasi di antara BPR Syariah, demikian juga dengan bank syariah dan BMT.
d.   Aktivitas BPR syariah di bidang keuangan menyebabkan tidak tersedianya waktu untuk melakukan aktivitas yang berhubungan dengan syiar islam. Padahal syiar islam –selain di bidang keuangan- sangat penting bagi kehidupan masyarakat secara umum.
e.   Nama Bank Perkreditan Rakyat Syariah, masih menyisakan kesan sistem BPR Syariah menggunakan sistem BPR SYARIAH konvensional.[7]
Selain itu, kendala terjadi pada pengembangan produk syariah (secara umum terjadi pada pengembangan perbankan syariah). Berikut tabel yang menerangkan kendala-kendala tersebut:
Produk syariah      Hukum syariah            Hukum positif/perbankan       Kendala bagi bank syariah jika tetap berpegang kepada produk syariah
Mudharabah
musyarakah          
Dana (modal) tidak boleh dijamin
Dijamin (liabilitas, deposito/tabungan)
Bank boleh meminta jaminan tergantung resiko (asset)
Bank harus menanggun semua kewajiban
tidak berbeda dengan bank konvensional
Murabahah
Bank menjual kepada nasabah
Tidak boleh diwakilkan kepada nasabah yang menganjukan pembiayaaan untuk membeli barang
Jika dilakukan jual beli harus ada akta jual beli
Harus ada bukti penerimaan uang oleh nasabah
Bank akan terkena pajak pembelian

Tanda terima barang oleh nasabah tidak bisa dijadikan bukti
Salam
Setelah dibayar, petani berhutang gabah yang akan diantar kemudian
Petani berhutang uang, harus mengembalikan uang         \
Resiko harga gabah yang fluaktif akan merugikan bank
Istisna
Setelah dibayar (sebagian), penjual (nasabah berhutang barang yang akan diantar kemudian
Penjual berhutang uang, harus mengembalikan uang
Jika barang itu pesanan bohir, bank beresiko tidak dibayar bila terdapat cacat pada barang
Ijarah muntahia bittamlik
Syariah hanya mengenal operating lease.
Jika ada opsi beli, maka itu hanya mengikat bila diakadkan di akhir masa sewa (tidak boleh dua akad/kontrak dijadikan satu)
Operating lease adalah produk perusahaan jasa. Finance & capital lease adalah produk perusahaan keuangan
Opsi bersifat mengikat jika dimasukkan dalam perjanjian
Bank sulit mengeluarkan nasabah yang menyewa dari rumahnya
Merugikan salah satu pihak bila opsi tidak dilaksanakan[8]


DAFTAR PUSTAKA
https://witchnclown.wordpress.com/2013/01/19/bpr-syariah/


[1] https://witchnclown.wordpress.com/2013/01/19/bpr-syariah/
[2] https://witchnclown.wordpress.com/2013/01/19/bpr-syariah/
[3] https://witchnclown.wordpress.com/2013/01/19/bpr-syariah/
[4] https://witchnclown.wordpress.com/2013/01/19/bpr-syariah/
[5] https://witchnclown.wordpress.com/2013/01/19/bpr-syariah/
[6] https://witchnclown.wordpress.com/2013/01/19/bpr-syariah/
[7] https://witchnclown.wordpress.com/2013/01/19/bpr-syariah/
[8] https://witchnclown.wordpress.com/2013/01/19/bpr-syariah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Proposal Bisnis

Ide membangun usaha Sudah punya toko, kamera, laptop Butuh Printer, Daftar agen pulsa, skill ngeprint foto, pemodal, kawan diajak joi...