RESUME
MATERI IV (EMPAT)
BANK PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH
DOSEN PENGAMPU : Dr. Nella Yantiana /
Eko Bahtiar. M.E.I
MATA KULIAH : BANK dan LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
DI SUSUN
O
L
E
H
HAJIJAH
(1142310083)
SEMESTER / KELAS: VI/A
FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
JURUSAN PERBANKAN SYARI’AH
PONTIANAK 2016/2017
INDIKATOR MATERI VI (BANK
PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH) ada 3 (tiga) yaitu: 1. Sejarah, Tujuan, Usaha Bank
Perkreditan Rakyat Syariah; 2. Ketentuan – ketentuan dalam pendirian organisasi
BPR Syariah; 3. Kendala dan strategi pengembangan BPR Syariah
- Sejarah,
Tujuan, Usaha Bank Perkreditan Rakyat Syariah
PENGERTIAN
Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
menurut pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Perbankan No.7 Tahun 1992, adalah lembaga keuangan
yang menerima simpanan uang hanya dalam bentuk deposito berjangka tabungan, dan
atau bentuk lainnya yang dipersamakan dalam bentuk itu dan menyalurkan dana
sebagai usaha BPR. Sedangkan menurut pasal 1 ayat 4 Undang-Undang Nomor 10
tahun 1998, BPR adalah lembaga keuangan bank yang melaksanakan kegiatan
usahanya secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah. Dengan demikian,
Bank Perkreditan Rakyat Syariah dapat diartikan sebagai sebuah lembaga keuangan
sebagaimana Bank Perkreditan Rakyat yang konvensional, yang operasionalnya
memakai prinsip-prinsip syariah.[1]
SEJARAH BERDIRINYA BPR SYARIAH
BPR merupakan penjelmaan dari
Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai Lumbung Nagari (LPN), Lembaga
perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Desa (BKD), Bada Kredit Kecamatan (BKK),
Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank
Karya Produksi Desa (BKPD), dan atau lembaga lainnya yang dapat dipersamakan
dengan itu (Subagyo, 2002).
Lembaga-lembaga keuangan yang
disebutkan merupakan lembaga yang berpengaruh atas berdirinya BPR Syariah,
keberadaan lembaga keuangan tersebut memunculkan pemikiran untuk mendirikan
Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang berdiri pada tahun 1992, namun pada
kenyatannya cakupan wilayah untuk BMI sangat terbatas pada wilayah tertentu
seperti kecamatan, kabupaten, dan desa. Maka dalam hal ini diperlukan adanya
BPR untuk menangani masalah keuangan di wilayah-wilayah yang tidak dijangakau
oleh BMI.
Pada awalnya ditetapkan tiga
lokasi untuk mendirikan BPR Syariah, yaitu PT BPR Dana Mardhatillah di
Kecamatan Margahayu-Bandung, PT BPR Berkah Amal Sejahtera di Kecamatan
Padalarang-Bandung, dan PT BPR Amanah Rabbaniyah di Kecamatan Banjaran-Bandung.
Ketiga BPR tersebut mendapatkan izin prinsip Menteri Keuangan RI pada tanggal 8
Oktober 1990 (Heri Sudarsono, 2008).[2]
TUJUAN DIDIRIKAN BPR SYARIAH
Tujuan didirikannya BPR Syariah adalah (Warkum
Sumitro, 2002):
a. Meningkatkan
kesejahteraan ekonomi umat Islam terutama kelompok masyarakat lemah yang pada
umumnya berada di daerah pedesaan.
b. Menambah
lapangan kerja terutama di tingkat kecamatan, sehingga dapat mengurangi arus
urbanisasi.
c. Membina
ukhuwah Islamiyah melalui kegiatan ekonomi dalam rangka peningkatan pendapatan
per kapita menuju kualitas hidup yang memadai.
Djazuli dan Yadi Janwari menjabarkan tiga tujuan
diatas menjadi lima tujuan, yaitu (Djazuli, 2002):
a. Meningkatkan
kesejahteraan ekonomi umat Islam, terutama masyarakat golongan ekonomi lemah
yang pada umumya berada di daerah pedesaan.
b. Meningkatkan
pendapatan per kapita
c. Menambah
lapangan kerja terutama di tingkat kecamatan.
d. Mengurangi
urbanisasi.
e. Membina
semangat Ukhuwah Islamiyah melalui kegiatan ekonomi.
Untuk mencapai sebuah tujuan,
diperlukan adanya strategi operasional, yaitu (Warkum Sumitro, 2002):
a. BPR
syariah tidak bersifat menunggu (pasif) terhadap datangnya permintaan
fasilitas, melainkan bersifat aktif dengan melakukan solisitasi/penelitian
kepada usaha-usaha yang berskala kecil yang perlu dibantu tambahan modal,
sehingga memiliki prospek bisnis yang baik.
b. BPR Islam
memiliki jenis usaha yang waktu perputaran uangnya jangka pendek dengan
mengutamakan usaha skala kecil menengah.
c. BPR
mengkaji pangsa pasar, tingkat kejenuhan serta tingkat kompetitifnya produk
yang akan diberi pembiayaan.[3]
KEGIATAN USAHA BPR SYARIAH
Berdasarkan Undang-Undang Perbankan Nomor 10 tahun
1998, kegiatan usaha BPR Syariah melingkupi (Burhanudin Susanto, 2008):
a) Menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan
dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
b) Memberikan
kredit.
c) Menyediakan
pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah.
d) Menempatkan
dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka,
sertifikat deposito, dan atau tabungan pada bank lain.
Pembatasan usaha BPR Syariah syariah secara tegas
dijelaskan dalam pasal 27 SK Direktur BI Nomor 32/36/1999. Menurut surat
keputusan ini, kegiatan operasional BPR syariah adalah:
a. Menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang meliputi:
a) Tabungan
berdasarkan prinsip wadiah atau mudharabah.
b) Deposito
berjangka berdasarkan prinsip mudharabah.
c) Bentuk
lain yang menggunakan prinsip wadiah atau mudharabah.
b. Melakukan
penyaluran dana melalui:
a) Transaksi
jual-beli berdasarkan prinsip:
• Mudharabah
• Istishna
• Ijarah
• Salam
• Jual beli
lainnya.
b) Pembiayaan
bagi hasil berdasarkan prinsip:
• Mudharabah
• Musyarakah
• Bagi
hasil lainnya
c) Pembiayaan
lain berdasarkan prinsip:
• Rahn
• Qardh
c. Melakukkan
kegiatan lain yang lazim dilakukan BPR Syariah sepanjang disetujui oleh Dewan
Syariah Nasional.
Keterangan lebih lanjut tentang kegiatan usaha BPR
Syariah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 6/17/PBI/2004. Namun pada
dasarnya, kegiatan operasional BPR Syariah lebih terbatas jika dibanding dengan
bank umum syariah. Hal ini dapat dilihat dalam SK Direktur BI No.
32/36/KEP/DIR/1999. Sedangkan kegiatan yang dilarang yaitu:
1. Melakukan
kegiatan usaha dalam bentuk valuta asing
2. Melakukan
penyertaan modal
3. Melakukan
usaha perasuransian[4]
- Ketentuan
– ketentuan dalam pendirian organisasi BPR Syariah
a. Syarat
Pendirian
Dalam mendirikan BPR Syariah harus mengacu pada
ketentuan hukum yang telah ditetapkan pada Undang-Undang Perbankan. Sesuai
dengan pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, bentuk badan hukum pendirian
BPR Syariah dapat berupa salah satu dari perusahaan daerah, koperasi atau
perseroan terbatas.
Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia
Nomor 32/36.KEP/DIR/1999, pendirian BPR Syariah harus menenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a) BPR
Syariah hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah dengan ijin Direksi Bank Indonesia;
b) BPR
Syariah hanya didirikan dan dimiliki oleh:
• Warga
Negara Indonesia
• Badan
hukum Indonesia yang seluruh kepemilikannya oleh Warga Negara Indonesia
• Pemerintah
Daerah
• Dua atau
lebih pihak dari pihak-pihak di atas.
Sebagai tindak lanjut dari peraturan perundang-undangan
ketentuan terbaru mengenai tata cara pendirian dan kegiatan usaha BPR Syariah
diatur dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia No.8/25/PBI/2006 tentang perubahan
atas Peraturan Bank Indonesia No.8/17/PBI/2004 tentang bank perkreditan rakyat
berdasarkan prinsip Syariah (Burhanuddin Susanto, 2008).
b. Persetujuan
prinsip dan izin usaha
Pemberian izin pendirian BPR Syariah dapat dilakukan
melalui dua tahap, antara lain persetujuan prinsip yaitu persetujuan untuk
melakukan persiapan pendirian BPR Syariah, dan izin usaha yaitu izin yang
diberikan untuk melakukan kegiatan usaha BPR syariah setelah persiapan
persetujuan prinsip dilakukan.
c. Kepemilikan
dan modal
Untuk mendirikan dan memiliki BPR Syariah
berdasarkan pasal 4 Peraturan Bank Indonesia No. 6/17/PBI/2004 modal yang harus
disetor adalah:
a) Rp
2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk BPR Syariah yang didirikan di
wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya dan Kabupaten/Tanggerang, Bogor,
Depok, dan Bekasi;
b) Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk BPR Syariah yang didirikan di
wilayah ibukota provinsi di luar wilayah tersebut pada huruf di atas;
c) Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk BPR Syariah yang didirikan di
luar wilayah tersebut pada huruf a dan huruf b di atas.
d. Kepengurusan
Kepengurusan BPR Syariah terdiri dari direksi dan
dewan komisaris. Untuk menjalankan fungsi pengawasan dalam pelaksanaan prinsip
syariah, BPR Syariah diwajibkan membentuk dan memiliki Dewan Pengawas Syariah
(DPS).[5]
- Kendala
dan strategi pengembangan BPR Syariah
Adapun strategi pengembangan BPR Syariah yang perlu
diperhatikan, yaitu:
a. Sosialisasi
BPR Syariah, bukan hanya dari produknya, tetapi juga sistem yang digunakan. Hal
ini bisa dilakukan dengan memberikan informasi melalui media masa. Selain itu,
BPR juga bisa bersosialisasi melalui bekerjasama dengan lembaga pendidikan atau
non-pendidikan yang mempunyai relevansi dengan visi dan misi BPR SYARIAH.
b. Mengadakan
pelatihan-pelatihan mengenai lembaga keuangan syariah sebagai wujud
meningkatkan kualitas SDM. Hal ini bisa dilakukan melalui kerjasama dengan
lembaga pendidikan untuk membuka pusat pendidikan lembaga keuangan syariah atau
kursus pendek (shortcourse) lembaga keuangan syariah.
c. Pemetaan
potensi dan optimasi ekonomi daerah. Hal ini bertujuan untuk mengetahui
kemampuan BPR SYARIAH mengelola sumber-sumber ekonomi yang ada. Dengan cara itu
pula dapat dilihat kesinambungan kerja di antara BPR SYARIAH, demikian juga
kesinambungan kerja BPR syariah dengan bank syarkah dan BMT.
d. Mengadakan
kegiatan rutin keagamaan sebagai wujud meningkatkan kesadaran masyarakat akan
peran Islam dalam bidang ekonomi. hal ini pun dapat membantu dalam mengetahui
gejala-gejala ekonomi-sosial yang ada.[6]
KENDALA PERKEMBANGAN BPR SYARIAH
a. kiprah BPR
Syariah kurang dikenal masyarakat sebagai BPR yang berprinsipkan syariah.
Bahkan masih ada anggapan bahwa BPR Syariah itu sama saja dengan BPR
konvensional.
b. Sulitnya
meningkatkan profesionalitas karena terhalang oleh sumber daya yang ada.
Sehingga mengakibatkan lambatnya respon terhadap permasalahan ekonomi yang
muncul.
c. Kurang
adanya koordinasi di antara BPR Syariah, demikian juga dengan bank syariah dan
BMT.
d. Aktivitas
BPR syariah di bidang keuangan menyebabkan tidak tersedianya waktu untuk
melakukan aktivitas yang berhubungan dengan syiar islam. Padahal syiar islam
–selain di bidang keuangan- sangat penting bagi kehidupan masyarakat secara
umum.
e. Nama Bank
Perkreditan Rakyat Syariah, masih menyisakan kesan sistem BPR Syariah
menggunakan sistem BPR SYARIAH konvensional.[7]
Selain itu, kendala terjadi pada pengembangan produk
syariah (secara umum terjadi pada pengembangan perbankan syariah). Berikut
tabel yang menerangkan kendala-kendala tersebut:
Produk syariah Hukum
syariah Hukum positif/perbankan Kendala bagi bank syariah jika tetap
berpegang kepada produk syariah
Mudharabah
musyarakah
Dana (modal) tidak boleh dijamin
Dijamin (liabilitas, deposito/tabungan)
Bank boleh meminta jaminan tergantung resiko (asset)
Bank harus menanggun semua kewajiban
tidak berbeda dengan bank konvensional
Murabahah
Bank menjual kepada nasabah
Tidak boleh diwakilkan kepada nasabah yang
menganjukan pembiayaaan untuk membeli barang
Jika dilakukan jual beli harus ada akta jual beli
Harus ada bukti penerimaan uang oleh nasabah
Bank akan terkena pajak pembelian
Tanda terima barang oleh nasabah tidak bisa
dijadikan bukti
Salam
Setelah dibayar, petani berhutang gabah yang akan
diantar kemudian
Petani berhutang uang, harus mengembalikan uang \
Resiko harga gabah yang fluaktif akan merugikan bank
Istisna
Setelah dibayar (sebagian), penjual (nasabah
berhutang barang yang akan diantar kemudian
Penjual berhutang uang, harus mengembalikan uang
Jika barang itu pesanan bohir, bank beresiko tidak
dibayar bila terdapat cacat pada barang
Ijarah muntahia bittamlik
Syariah hanya mengenal operating lease.
Jika ada opsi beli, maka itu hanya mengikat bila
diakadkan di akhir masa sewa (tidak boleh dua akad/kontrak dijadikan satu)
Operating lease adalah produk perusahaan jasa.
Finance & capital lease adalah produk perusahaan keuangan
Opsi bersifat mengikat jika dimasukkan dalam
perjanjian
Bank sulit mengeluarkan nasabah yang menyewa dari
rumahnya
Merugikan salah satu pihak bila opsi tidak
dilaksanakan[8]
DAFTAR PUSTAKA
https://witchnclown.wordpress.com/2013/01/19/bpr-syariah/
[1]
https://witchnclown.wordpress.com/2013/01/19/bpr-syariah/
[2]
https://witchnclown.wordpress.com/2013/01/19/bpr-syariah/
[3]
https://witchnclown.wordpress.com/2013/01/19/bpr-syariah/
[4]
https://witchnclown.wordpress.com/2013/01/19/bpr-syariah/
[5]
https://witchnclown.wordpress.com/2013/01/19/bpr-syariah/
[6]
https://witchnclown.wordpress.com/2013/01/19/bpr-syariah/
[7]
https://witchnclown.wordpress.com/2013/01/19/bpr-syariah/
[8]
https://witchnclown.wordpress.com/2013/01/19/bpr-syariah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar